Jarak tiga peristiwa ini cukup jauh, kasus yang terjadi pada The Jakarta Post terjadi tahun 2014, Rakyat Merdeka Online tahun 2006 dan Tabloid Monitor tahun 1990. Namun ketiganya mempunyai kemiripan, yaitu pemimpin redaksi tiga media tersebut diadukan ke polisi karena dianggap telah menistakan agama.
Dimas, nama panggilan untuk Meidyatama Suryodingrat adalah pemimpin redaksi Harian The Jakarta Post. Koran berbahasa Inggris ini pada 3 Juli 2014 memuat karikatur bergambar bendera ISIS dengan lambang tengkorak dan di bawahnya ada tulisan tauhid. Saat pemuatan, ISIS baru mulai bergerak di Irak dan belum banyak dimuat media nasional.
Media nasional kala itu, hiruk pikuk sajikan perang kandidat menjelang pemilihan presiden yang dihelat 9 Juli. Yang perlu diketahui juga, sebelum dilaporkan ke polisi, koran ini baru saja menyatakan sebagai media yang mendukung Jokowi di kebijakan editorialnya.
Edy Mulyadi, Ketua Majelis Tabligh dan Dakwah Korps Mubaligh Jakarta yang tiba-tiba melaporkan karikatur media tersebut ke polisi. Mantan wartawan ini tidak menempuh layaknya penyelesaian kasus pers dengan mengadu ke Dewan Pers dan menyelesaikan melalu UU Pers.
Jalan yang ditempuhnya bukan ke Kebon Sirih, kantor Dewan pers, namun menuju Bareskrim Mabes Polri. Ia mengadukan The Jakarta Post dengan alasan karikatur tersebut telah menghina agama. Jerat hukum disarangkan, pasal 156 huruf a KUHP tentang penistaan agama dengan ancaman hukuman di atas 5 tahun penjara.
Kaget, heran dan penuh tanda tanya. Kenapa kasus delik pers tiba-tiba diproses polisi dengan jerat KUHP? Bukannya kasus pers masuk lex specialis dan harus ditangani Dewan Pers. Sudah ada UU Pokok Pers dan MoU Dewan Pers dan Polri terkait penanganan kasus yang ditimbulkan oleh karya jurnalistik. Bukankah kasus pers selama ini ditangani Dewan Pers?
Banyak pertanyaan dan kejanggalan saat polisi ngotot memproses kasus ini menjadi kasus pidana. Dimas jadi tersangka, dan akan dipanggil untuk memberikan keterangan tanggal 7 Januari 2015. Hingga Minggu, 21 Desember 2014, Polda Metro Jaya masih bersikukuh kasusnya berlanjut, meski Dewan Pers sudah mengirimkan surat permohonan penghentian perkara.
Ingatan jadi muncul lagi saat media online, rakyatmerdeka.co.id mengeluarkan kartun nabi. Pada 2 Januari 2006, media online ini memuat kartun yang menggambarkan Nabi Muhammad mengenakan sorban bom, bercambang dan pada bagian mata di blok warna merah. Aslinya, kartun ini diambil dari Koran terbesar yang terbit di Denmark, Jyllands Posten. Teguh sudah menjelaskan panjang lebar perihal kartun tersebut yang sudah dinaikkan media terbesar di Denmark.
Namun, bukan makin jelas. Justru beberapa hari kemudian sejumlah ormas marah mendatangi kantor Graha Pena di Kebayoran Baru. Ketua FPI Habib Rizieq langsung memimpin 200 orang menggeruduk. Tak selang lama, seorang yang mengaku mahasiswa melaporkan Rakyat Merdeka ke Polda Metro Jaya. Pasal yang diakukan persis, 156 huruf a tentang penistaan terhadap agama.
Sama seperti Dimas saat ini, Pemred Rakyat Merdeka Online,Teguh Santosa kemudian ditetapkan menjadi tersangka. Dengan ancaman hukuman di atas 5 tahun, kasus ini kemudian dilimpahkan ke Kejaksaan.
Saat pelimpahan kasus, Teguh Santosa sempat dibawa ke LP Cipinang untuk menjalani penahanan, dengan satus tahanan titipan kejaksaan. Semua pihak bereaksi, para tokoh menghubungi para petinggi negeri untuk meminta penangguhan penahanan. Teguh pun akhirnya dilepas setelah menginap semalam di LP Cipinang.
Kasusnya terus diproses hingga disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Delapan bulan setelah pemuatan pertama kali di media online, sidang mulai digelar dan Teguh duduk di kursi pesakitan. Persidangan terus berlangsung, jalur lobi ditempuh.
Anehnya, saat sidang banyak anggota ormas Islam mendukung Teguh. Baik dari FPI, MMI, Pemuda Muhammadiyah dan lainnya. Dalam putusan sela, hakim Wahyono menolak dakwaan jaksa dan membebaskan Teguh Santosa. Alasan pembebasan, hakim menerima keberatan penasehat hukum bahwa dakwaan penggunaan pasal 156 tidak tepat. Kartun merupakan produk jurnalistik dan harus diselesaikan melalui UU Pokok Pers.
Lalu bagaimana dengan Arswendo Atmowiloto? Jauh sebelum UU Pokok Pers di berlakukan, kasus penggunaan pasal serupa sudah menjerat Pemred Monitor ini. Kasusnya sederhana, Tabloid Hiburan Monitor pada edisi tanggal 15 Oktober 1990 memuat hasil polling berjudul “Kagum 5 Juta” . Hasil poling ini menempatkan Suharto, BJ Habibie, Soekarno dan Iwan Fals sebagai terpopuler 1,sampai 4 pilihan pembaca. Menempatkan Arswendo rangking 10 dan Nabi Muhammad ranking 11.
Tampaknya hasil polling pembaca ini tidak memuaskan umat muslim. Penempatan Nabi di ranking 11 di bawah nama-nama tersebut dinilai menghina umat muslim. Protes marak, berbagai ormas hingga tokoh agama. Nasib sangat tragis, Menteri Penerangan Harmoko membredel Tabloid Monitor dan polisi menghukum sang pemred 5 tahun.
Selain ancaman pasal penistaan agama, sejumlah pimpinan media massa juga berhadapan dengan penegak hukum saat menyelesaikan kasus-kasus pemberitaan. Redaktur Eksekutif Harian Rakyat Merdeka yang harus mendekam di penjara 6 bulan karena diputus pengadilan melakukan penghinaan terhadap Presiden Megawati Soekarnoputri.
Rizang Bima Wijaya, pemimpin redaksi Radar Yogya yang divonis bersalah kasus pencemaran nama baik pemilik harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta dan Karim Paputungan, Pemimpin Redaksi Harian Rakyat Merdeka yang dituntut pencemaran nama baik Akbar Tanjung dan hakim menyatakan Karim dianggap bersalah. Kasus tak kalah menyeramkan saat Tempo menghadapi gugatan pengusaha Tommy Winata hingga menuntut pemred dan sejumlah awak redaksi.
Masih adanya kasus-kasus pemberitaan yang berujung ke kasus pidana, menunjukkan belum ada kata sepakat penegak hukum dalam penyelesaian perselisihan pemberitaan pers. UU Pokok Pers, hingga MoU Polri dan Dewan Pers seharusnya sudah cukup untuk menghentikan berbagai bentuk kriminalisasi terhadap pers. Sehingga tidak perlu lagi perangkat UU baru untuk memastikan penyelesaikan perselisihan atas pemberitaan pers.