Saat pelimpahan kasus, Teguh Santosa sempat dibawa ke LP Cipinang untuk menjalani penahanan, dengan satus tahanan titipan kejaksaan. Semua pihak bereaksi, para tokoh menghubungi para petinggi negeri untuk meminta penangguhan penahanan. Teguh pun akhirnya dilepas setelah menginap semalam di LP Cipinang.
Kasusnya terus diproses hingga disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Delapan bulan setelah pemuatan pertama kali di media online, sidang mulai digelar dan Teguh duduk di kursi pesakitan. Persidangan terus berlangsung, jalur lobi ditempuh.
Anehnya, saat sidang banyak anggota ormas Islam mendukung Teguh. Baik dari FPI, MMI, Pemuda Muhammadiyah dan lainnya. Dalam putusan sela, hakim Wahyono menolak dakwaan jaksa dan membebaskan Teguh Santosa. Alasan pembebasan, hakim menerima keberatan penasehat hukum bahwa dakwaan penggunaan pasal 156 tidak tepat. Kartun merupakan produk jurnalistik dan harus diselesaikan melalui UU Pokok Pers.
Lalu bagaimana dengan Arswendo Atmowiloto? Jauh sebelum UU Pokok Pers di berlakukan, kasus penggunaan pasal serupa sudah menjerat Pemred Monitor ini. Kasusnya sederhana, Tabloid Hiburan Monitor pada edisi tanggal 15 Oktober 1990 memuat hasil polling berjudul “Kagum 5 Juta” . Hasil poling ini menempatkan Suharto, BJ Habibie, Soekarno dan Iwan Fals sebagai terpopuler 1,sampai 4 pilihan pembaca. Menempatkan Arswendo rangking 10 dan Nabi Muhammad ranking 11.
Tampaknya hasil polling pembaca ini tidak memuaskan umat muslim. Penempatan Nabi di ranking 11 di bawah nama-nama tersebut dinilai menghina umat muslim. Protes marak, berbagai ormas hingga tokoh agama. Nasib sangat tragis, Menteri Penerangan Harmoko membredel Tabloid Monitor dan polisi menghukum sang pemred 5 tahun.
Selain ancaman pasal penistaan agama, sejumlah pimpinan media massa juga berhadapan dengan penegak hukum saat menyelesaikan kasus-kasus pemberitaan. Redaktur Eksekutif Harian Rakyat Merdeka yang harus mendekam di penjara 6 bulan karena diputus pengadilan melakukan penghinaan terhadap Presiden Megawati Soekarnoputri.
Rizang Bima Wijaya, pemimpin redaksi Radar Yogya yang divonis bersalah kasus pencemaran nama baik pemilik harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta dan Karim Paputungan, Pemimpin Redaksi Harian Rakyat Merdeka yang dituntut pencemaran nama baik Akbar Tanjung dan hakim menyatakan Karim dianggap bersalah. Kasus tak kalah menyeramkan saat Tempo menghadapi gugatan pengusaha Tommy Winata hingga menuntut pemred dan sejumlah awak redaksi.
Masih adanya kasus-kasus pemberitaan yang berujung ke kasus pidana, menunjukkan belum ada kata sepakat penegak hukum dalam penyelesaian perselisihan pemberitaan pers. UU Pokok Pers, hingga MoU Polri dan Dewan Pers seharusnya sudah cukup untuk menghentikan berbagai bentuk kriminalisasi terhadap pers. Sehingga tidak perlu lagi perangkat UU baru untuk memastikan penyelesaikan perselisihan atas pemberitaan pers.