Permintaan maaf dalam dua bahasa yang dilakukan Jakarta Post, kata Jono, menunjukkan itikad baik dari Jakarta Post bahwa pemuatan karikatur tersebut tidak bermaksud menghina atau menistakan satu agama tertentu. Bahkan justru, kata Suwarjono, itikad pemuatan karikatur tersebut adalah mengingatkan publik tentang bahaya sebuah organisasi radikal yang bisa mengancam ketertiban sipil dan bahkan kemerdekaan berpendapat di Indonesia.
AJI mendesak polisi menghentikan penyidikan dugaan pidana atas Meidyatama. Polisi hendaknya mengutamakan penyelesaian kasus pers oleh Dewan Pers dan dalam hal ini, Jakarta Post telah beritikad baik menjalankan proses di Dewan Pers. Sebagaimana diatur dalam Pasal 15 Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, Dewan Pers memiliki kewenangan menyelesaikan pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.
AJI juga mengimbau publik untuk tidak mudah melakukan kriminalisasi atas media, sebaiknya sampaikan keberatan atau keluhan ke Dewan Pers. Kebebasan pers yang dinikmati media hari ini, menurut Jono, adalah bagian dari kebebasan berpendapat rakyat.
"Sudah ada MoU antara Dewan Pers dan Kepolisian RI yang ditandatangani Pak Bagir Manan dan Jenderal Pol Timur Pradopo tahun 2012 lalu. Kasus ini jelas wewenang Dewan Pers untuk menangani dan menyelesaikan. Langkah polisi melanjutkan kasus ini sudah masuk kriminalisasi media yang dilakukan negara," kata Jono.
Sebelumnya, anggota Dewan Pers Yosep Adhi Prasetyo menyatakan bahwa kasus pemuatan karikatur ISIS itu hanya pelanggaran kode etik jurnalistik. Menurut Yosep, Jakarta Post tak bisa dikatakan melakukan tindak pidana.
"Pihak polisi seharusnya melihat pelanggaran etik, bukan pidana. Selesainya di Dewan Pers," kata Stanley.
Koordinator Bidang Sipil Politik Badan Pengurus Yayasan LBH Indonesia Moch. Ainul Yaqin menilai penetapan Meidyatama sebagai tersangka merupakan ancaman yang serius bagi kebebasan pers di Indonesia.
Dalam peristiwa ini, YLBHI memandang bahwa Polda Metro Jaya terkesan lebih mengikuti kemauan kelompok-kelompok yang cenderung memaksakan kehendaknya.
Ainul Yaqin mengatakan sebagian besar rakyat Indonesia dengan tegas menolak paham ISIS karena dalam praktek kehidupan beragamanya selalu menggunakan kekerasan, bahkan pembunuhan dan tidak menghormati perbedaan. Atas paham yang demikian sehingga tokoh-tokoh agama menolak paham ISIS, begitu juga pemerintah Indonesia secara tegas melarang penyebaran paham tersebut, karena bertentangan dengan Pancasila dan membahayakan keberagaman Indonesia.
"Dengan demikian menjadi sesuatu yang kontradiktif, jika The Jakarta Post memuat karikatur tentang ISIS justru dipidanakan dan dianggap melakukan penistaan agama oleh pihak Polda Metro Jaya. Tentunya pemidanaan tersebut menunjukkan adanya kesesatan berpikir dalam tahapan proses pemidanaannya," kata Ainul Yaqin.