Suara.com - Koordinator Bidang Sipil Politik Badan Pengurus Yayasan LBH Indonesia Moch. Ainul Yaqin menilai penetapan Pemimpin Redaksi The Jakarta Post Meidyatama Suryodiningrat sebagai tersangka oleh Kepolisian Daerah Metro Jaya yang diduga melakukan penistaan agama sebagaimana diatur dalam Pasal 156a KUHP merupakan ancaman yang serius bagi kebebasan pers di Indonesia.
Penetapan tersangka tersebut berawal dari pemuatan kartun yang mengkritik Islamic State of Iraq and Syria di The Jakarta Post. Dalam peristiwa ini, YLBHI memandang bahwa Polda Metro Jaya terkesan lebih mengikuti kemauan kelompok-kelompok yang cenderung memaksakan kehendaknya.
Ainul Yaqin mengatakan sebagian besar rakyat Indonesia dengan tegas menolak paham ISIS karena dalam praktek kehidupan beragamanya selalu menggunakan kekerasan, bahkan pembunuhan dan tidak menghormati perbedaan. Atas paham yang demikian sehingga tokoh-tokoh agama menolak paham ISIS, begitu juga pemerintah Indonesia secara tegas melarang penyebaran paham tersebut, karena bertentangan dengan Pancasila dan membahayakan keberagaman Indonesia.
"Dengan demikian menjadi sesuatu yang kontradiktif, jika The Jakarta Post memuat karikatur tentang ISIS justru dipidanakan dan dianggap melakukan penistaan agama oleh pihak Polda Metro Jaya. Tentunya pemidanaan tersebut menunjukkan adanya kesesatan berpikir dalam tahapan proses pemidanaannya," kata Ainul Yaqin.
Selanjutnya, kata Ainul Yaqin, jika dilihat dari sisi etika jurnalistik, mestinya hal terkait kartun tidak masuk dalam ranah kepolisian, karena sudah ditangani oleh Dewan Pers. Dengan demikian, kata Ainul Yaqin, terlihat dalam peristiwa ini kepolisian kurang menghormati proses yang sudah dilakukan oleh Dewan Pers. Padahal keberadaan lembaga Dewan Pers merupakan amanah dari UU No. 40/1999 tentang Pers.
"Atas hal tersebut, Polda Metro Jaya harus segera mengevaluasi penetapan tersangka terhadap Pemred The Jakarta Post dan segera menghentikan proses pemidanaannya. Karena jika prosesnya berlanjut, maka hal ini menjadi ancaman yang serius bagi kebebasan pers di Indonesia," kata Ainul Yaqin.
Pemred Jakarta Post diproses berdasarkan Laporan Polisi Nomor: 687/VII/2014 tertanggal 15 Juli 2014. Laporan dibuat Ketua Majelis Tabligh dan Dakwah Korps Mubaligh Jakarta Edy Mulyadi yang menyatakan, harian The Jakarta Post edisi terbitan 3 Juli 2014 memuat kartun yang mencantumkan karikatur dengan kalimat bertulisan Arab La ilaha illallah yang berarti "Tidak ada Tuhan selain Allah" pada sebuah gambar tengkorak khas bajak laut merupakan penghinaan terhadap agama.
Aliansi Jurnalis Independen Indonesia mengecam tindakan polisi menetapkan Meidyatama sebagai tersangka tindak pidana penistaan agama. Menurut AJI, kasus pemuatan karikatur yang diduga menghina agama tertentu itu telah diselesaikan di Dewan Pers.
Ketua Umum AJI Suwarjono menyatakan The Jakarta Post telah melaksanakan sanksi yang diputuskan Dewan Pers yaitu koreksi dan meminta maaf.
“Jakarta Post telah meminta maaf dan menyatakan mencabut karikatur tersebut,” katanya.