Kasus Dugaan Sodomi di JIS Tak Layak Dilanjutkan di Pengadilan

Doddy Rosadi Suara.Com
Rabu, 10 Desember 2014 | 06:12 WIB
Kasus Dugaan Sodomi di JIS Tak Layak Dilanjutkan di Pengadilan
Salah satu terdakwa kasus sodomi di JIS. (Suara.com/Oke Atmaja)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Tim pengacara terdakwa kasus sodomi di Jakarta International School (JIS) Ferdinant Tjiong dan Neil Bantleman dalam eksepsinya menegaskan, seluruh dakwaan yang disampaikan JPU terhadap dua terdakwa sangat absurd dan tidak masuk akal. Dakwaan tersebut juga tidak memenuhi kaidah-kaidah dasar hukum acara pidana yang sudah diatur dalam KUHAP.  Hal itu diungkapkan sidang kasus ini di Pengadilan Jakarta Selatan, Selasa (9/12/2014).

Sebagai contoh, dalam surar dakwaan jaksa disebutkan, kasus yang melibatkan kedua guru tersebut terjadi pada waktu yang tidak dapat diingat lagi dengan pasti antara bulan Januari 2013 sampai bulan Maret 2014.

Artinya, kata tim pengacara yang diwakili Patra M. Zen, Hotman Paris Hutapea dan kantor hukum SSEK, dakwaan pidana oleh JPU tidak menyebutkan kapan peristiwa ini terjadi, dimana dan dengan bukti-bukti apa. Dakwaan  tidak memenuhi ketentuan KUHAP, khususnya Pasal 143 ayat (2) huruf b yang mengharuskan disebutkan uraian yang jelas dan cermat atas waktu terjadinya pidana.

"Jelas terlihat kasus ini sangat dipaksakan dan para guru ini sengaja dikorbankan, persis seperti dugaan kami sejak awal kasus ini terjadi," jelas Patra, dalam keterangan tertulis kepada suara.com, Rabu (10/12/2014).

Pengacara dua guru JIS, Hotman Paris Hutapea mengatakan, seharusnya ketika JPU membuat dakwaan tidak hanya menerima laporan dari polisi. Tapi melakukan pemeriksaan dan bahkan investigasi lebih mendalam terkait kasus yang diserahkan oleh kepolisian. Termasuk mengetahui latarbelakang munculnya kasus yang terjadi pada dua guru JIS ini.

Pasalnya, lanjut Hotman, Neil dan Ferdy diadukan ke polisi dengan tuduhan tindak asusila setelah gugatan perdata oleh ibu MAK, berinisial TPW, ditolak dan kemudian dinaikkan menjadi 125 juta dolar Amerika atau hampir senilai Rp 1,5 triliun. Sementara gugatan pidana sejak awal yang dilakukan TPW kepada JIS senilai 12 juta dolar Amerika hanya ditujukan bagi 6 pekerja kebersihan. TPW menggugat JIS sebesar itu lantaran anaknya diduga mengalami sodomi.

"Dakwaan jaksa mengada-ada dan sangat berbahaya bagi sistem hukum di Indonesia. Baru kali ini sebuah kasus pidana tidak jelas disebutkan kapan waktunya dan dimana dilakukan. Sistem hukum kita bisa rusak dengan cara-cara mengkreasi kasus seperti ini," jelasnya.

Dengan tidak adanya kepastian waktu dan kejadian, JPU telah menempatkan para tersangka seolah-olah selalu ada untuk melakukan kejahatan. Padahal sangat mungkin para guru tersebut tidak ada di Indonesia pada waktu-waktu yang dituduhkan.

"Tanpa bukti yang jelas dan dakwaan yang tidak memenuhi KUHAP kasus dua guru JIS ini tidak layak dilanjutkan lagi. Memaksakan sebuah kebohongan ke ruang pengadilan akan menghancurkan dan merusak tatanan hukum di Indonesia," tandasnya.

REKOMENDASI

TERKINI