Suara.com - Yayasan Peduli Timor Barat mendukung penuh langkah Pemerintah Republik Indonesia dengan tindakan tegas menenggelamkan kapal asing pencuri ikan, namun jauh lebih dari itu perlu ditegakkan kedaulatan di seluruh perairan Nusantara.
"Tindakan menenggelamkan kapal asing itu juga penting, namun yang lebih penting adalah menegakkan kedaulatan NKRI di seluruh perairan nusantara, termasuk di antaranya Laut Timor sesuai dengan kelaziman internasional serta fakta geologi dan geomorfologi," kata Ketua YPTB Ferdi Tanoni, dalam pernyataan tertulis yang diterima suara.com, Sabtu (6/12/2014).
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan tindakan menenggelamkan kapal-kapal asing pencuri ikan, bukan sebuah tindakan haram, bukan pula tindakan biadab, tetapi untuk efek jera dan tegaknya daulat ekonomi (kelautan) di Indonesia.
Retno memastikan kebijakan Pemerintah menenggelamkan kapal asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia tak akan mengganggu hubungan diplomatik dengan negara lain, meskipun kapal-kapal yang ditenggelamkan adalah milik asing.
Tanoni yang juga pemerhati masalah Laut Timor dan pembela nelayan tradisonal di Laut Timor menyatakan sependapat dengan tindakan tegas Pemerintah Indonesia tersebut.
Berdasarkan catatannya, sejak tahun 2007-2012 Pemerintah Indonesia sudah menenggelamkan puluhan kapal asing, namun apakah tindakan tersebut sudah memberikan efek jera atau belum, hanya Jakarta yang mengetahuinya, kata Tanoni.
"Bagi saya, Pemerintah Indonesia saat ini harus berani menegaskan kembali law enforcement di wilayah perbatasan yang dicaplok negara asing, seperti yang dilakukan Australia di wilayah perairan Laut Timor," kata penulis buku "Skandal Laut Timor, Sebuah Barter Politik Ekonomi Canberra-Jakarta" itu.
Mantan agen imigrasi Kedubes Australia itu mengatakan Australia secara sepihak memproklamirkan zona perikanannya hampir mendekati wilayah perairan di sekitar Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur yang terletak di selatan Indonesia.
Tanoni mengatakan Australia menggunakan Perjanjian RI-Australia tahun 1997 tentang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Batas-batas Dasar Laut Tertentu untuk memberangus seluruh nelayan tradisonal Indonesia yang beraktivitas mencari ikan dan biota laut lainnya di sekitar Pulau Pasir sejak lebih dari 400 tahun lalu.
Padahal, kata dia, perjanjian tersebut hingga saat ini belum diratifikasi oleh kedua negara, bahkan tidak mungkin diratifikasi oleh kedua negara sebab telah terjadi sebuah perubahan geopolitik yang sangat signifikan di kawasan Laut Timor dengan lahirnya sebuah negara baru berdaulat bernama Timor leste.
Menurut dia, seluruh perjanjian antara RI-Australia tentang ZEE dan Batas Landas Kontinen serta Batas-batas Dasar Laut Tertentu yang dibuat sejak tahun 1973-1997 di Laut Timor dan Laut Arafura tidak sesuai dengan kelaziman hukum internasional, maupun berdasarkan fakta geologi maupun geomorfologi yang ada.
"Dengan demikian Australia menguasai hampir 85 persen wilayah Laut Timor yang kaya raya akan sumber daya alam di antaranya minyak dan gas bumi serta beraneka jenis ikan dan biota laut lainnya," ujarnya.
Ia mengharapkan Menteri Retno segera mengagendakan sebuah perundingan trilateral bersama Australia dan Timor Leste guna membatalkan seluruh perjanjian RI-Australia yang dibuat sejak tahun 1973-1997.
"Perjanjian yang dibuat itu harus dirundingkan kembali dengan menggunakan prinsip hukum internasional garis tengah (median line), karena bangsa Indonesia yang berada di Nusa Tenggara Timur hanyalah bisa menikmati limbah yang dibuang Australia tanpa mau bertanggungjawab," kata Tanoni.
Menurut dia, rakyat di daerah ini ibarat "sudah jatuh tertimpa tangga pula". Artinya, sudah dimiskinkan oleh Australia secara sistematis dengan menguasai hampir 85 persen wilayah perairan di Laut Timor, kini malah dijadikan lagi sebagai penghalau bagi imigran gelap yang hendak memasuki negeri Kanguru itu secara ilegal.
"Karena itu, upaya untuk menegakkan kedaulatan di seluruh perairan nusantara merupakan sebuah keharusan yang sangat mendesak, selain memberi efek jera dengan menenggelamkan kapal asing yang mencuri ikan di wilayah perairan kita secara ilegal," demikian Ferdi Tanoni.