Menurut dia, seluruh perjanjian antara RI-Australia tentang ZEE dan Batas Landas Kontinen serta Batas-batas Dasar Laut Tertentu yang dibuat sejak tahun 1973-1997 di Laut Timor dan Laut Arafura tidak sesuai dengan kelaziman hukum internasional, maupun berdasarkan fakta geologi maupun geomorfologi yang ada.
"Dengan demikian Australia menguasai hampir 85 persen wilayah Laut Timor yang kaya raya akan sumber daya alam di antaranya minyak dan gas bumi serta beraneka jenis ikan dan biota laut lainnya," ujarnya.
Ia mengharapkan Menteri Retno segera mengagendakan sebuah perundingan trilateral bersama Australia dan Timor Leste guna membatalkan seluruh perjanjian RI-Australia yang dibuat sejak tahun 1973-1997.
"Perjanjian yang dibuat itu harus dirundingkan kembali dengan menggunakan prinsip hukum internasional garis tengah (median line), karena bangsa Indonesia yang berada di Nusa Tenggara Timur hanyalah bisa menikmati limbah yang dibuang Australia tanpa mau bertanggungjawab," kata Tanoni.
Menurut dia, rakyat di daerah ini ibarat "sudah jatuh tertimpa tangga pula". Artinya, sudah dimiskinkan oleh Australia secara sistematis dengan menguasai hampir 85 persen wilayah perairan di Laut Timor, kini malah dijadikan lagi sebagai penghalau bagi imigran gelap yang hendak memasuki negeri Kanguru itu secara ilegal.
"Karena itu, upaya untuk menegakkan kedaulatan di seluruh perairan nusantara merupakan sebuah keharusan yang sangat mendesak, selain memberi efek jera dengan menenggelamkan kapal asing yang mencuri ikan di wilayah perairan kita secara ilegal," demikian Ferdi Tanoni.