Suara.com - Senator DPD RI asal Aceh yang juga Wakil Ketua Komite I DPD RI bidang politik, hukum, dan HAM, Fachrul Razi, kecewa terhadap pemerintahan Joko Widodo.
Ia menilai Nawacita terkait penuntasan pelanggaran HAM telah dilanggar yaitu dengan membebaskan secara bersyarat Pollycarpus Budihari Priyanto, terpidana pembunuh aktivis HAM Munir dari Lapas Sukamiskin Bandung.
“Kami sangat kecewa kepada pemerintahan Jokowi telah membebaskan Pollycarpus terpidana pembunuh aktivis HAM Munir. Secara jelas Jokowi telah melanggar Nawacita terkait penuntasan pelanggaran penuntasan HAM. Pemerintah telah melukai hati para pegiat HAM merusak citra Indonesia di mata Internasional terhadap penegakan HAM,” kata Fachrul Razi dalam pernyataan tertulis yang dikirim kepada suara.com, Selasa (2/12/2014).
Fachrul Razi menilai sejak pemerintah Orde Baru sampai pemerintah sekarang tidak memiliki keseriusan menyelesaikan semua masalah pelanggaran HAM. Mulai dari kasus pelanggaran HAM berat, seperti 1965, penembakan misterius, peristiwa tanjung priok, penculikan aktivis, dan tragedi semanggi I dan II.
Fachrul Razi mengatakan semestinya kasus-kasus tersebut menjadi prioritas utama pemerintah untuk di tuntaskan. Kegagalan pemerintah dalam menuntaskan kasus-kasus tersebut, katanya, menimbulkan pesimisme di tengah masyarakat Indonesia akan kepastian hukum.
“Saya mencermati, pemerintah sejak orba sampai sekarang tidak serius dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Sehingga menimbulkan pesimisme di tengah masyarakat Indonesia atas kepastian hukum, bahkan tegaknya hukum di Indonesia menjadi sesuatu yang utopis. Bahkan langkah awal Pemerintahan Jokowi tidak menunjukkan penegakan HAM sebagai program prioritas,” kata Fachrul Razi.
Mantan aktivis mahasiswa UI ini juga menganggap bahwa kasus pelanggaran HAM yang sudah terjadi di Indonesia semuanya masuk dalam kategori pelanggaran HAM berat yaitu pembunuhan massal, pembunuhan semena-mena di luar putusan pengadilan, penyiksaan dan penghilangan orang secara paksa.
Selain itu, Fachrul Razi berpendapat bahwa dari sisi keadilan korban pelanggaran HAM di Indonesia sejauh ini belum mendapatkan haknya selaku korban. Bahkan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dulunya menjadi harapan untuk mencari keadilan dihapus oleh pemerintah.
“Pelanggaran-pelanggaran HAM di Indonesia termasuk dalam kategori pelanggaran HAM berat sebagai misal pembunuhan massal, pembunuhan semena-mena di luar putusan pengadilan, penyiksaan dan penghilangan orang secara paksa. Sejauh ini, korban pelanggaran HAM di Indonesia sejauh ini belum mendapatkan haknya. Bahkan KKR sempat menjadi harapan juga telah dihapus pemerintah. Bahkan juga penerapan UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM tidak berjalan dengan serius," kataFachrul Razi.
Dalam pengamatan Fachrul Razi, pemerintah memiliki kendala dalam penyelesaian pelanggaran HAM, seperti sulitnya menemukan saksi dan pelaku serta terkendala dana untuk pembentukan pengadilan HAM ad hock. Kendala di atas merupakan persoalan lama yang tidak akan selesai bila tidak ada komitmen bersama dan keinginan politik dari pemerintah untuk menyelesaikan persoalan HAM.
Oleh karena itu, kata dia, ke depan singkronisasi antar lembaga negara merupakan faktor utama untuk menyelesaikan masalah HAM. Jangan hanya di tumpukan pada satu lembaga Komnas HAM atau Kejaksaan Agung.
“Saya akan terus secara kritis untuk mengawasi perkembangan penyelesaian HAM masa lalu yang tidak selesai untuk menjadi program prioritas pemerintah demi menuju keadilan rakyat Indonesia,” kata Fachrul Razi.