Suara.com - Tidak dilibatkannya Dewan Perwakilan Daerah dalam revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah merupakan kesalahan. Putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa keikutsertaan dan keterlibatan DPD dalam pembentukan undang-undang sebagai konsekuensi norma Pasal 22D ayat (1) UUD 1945.
"Jadi, penyusunan UU merupakan bagian tidak terpisahkan dari hak dan/atau kewenangan DPD dalam mengajukan dan membahas RUU. Oleh karena itu, pembahasan revisi UU MD3 tidak bisa sepihak atau dua pihak saja tapi wajib menyertakan DPD dalam proses legislasi model tripartit. Merupakan pereduksian hak dan/atau kewenangan DPD jika pembahasan revisi UU MD 3 tetap dilaksanakan tanpa keikutsertaan dan keterlibatan DPD sekaligus mengurangi semangat perubahan UUD 1945 guna menciptakan checks and balances dalam pembentukan UU melalui sistem bikameral," kata Ketua Panitia Perancang Undang-Undang DPD Gede Pasek Suardika dalam pernyataan pers yang diterima suara.com, Rabu (26/11/2014).
Pernyataan senator asal Bali itu untuk menanggapi perkembangan usulan revisi UU 17/2014 dalam rapat pleno Badan Legislasi DPR yang mengagendakan pengambilan keputusan atas usulan revisi UU 17/2014.
“Perkembangan terakhir, DPD belum bisa diterima secara resmi oleh saudara tua kita untuk sama-sama ikut serta dan terlibat membahas revisi UU MD3. Tercermin dari hasil rapat pleno Baleg DPR, mayoritas anggota (Baleg DPR) menginginkan DPD hanya boleh memberi masukan. Jadi, DPD tidak ikut serta dan tidak terlibat membahas revisi UU MD3 dengan alasan materinya hanya beberapa pasal kesepakatan KMP-KIH. Karena nggak terkait, DPD ndak diajak. Begitu keinginan mereka. (Keputusan) ini salah! Kami telah berkomunikasi dengan pimpinan Baleg DPR; tapi tak semuanya, karena ketua sulit ditemui,” katanya.
Menurutnya, alasan penyusunan UU setidaknya karena kebutuhan membentuk UU yang baru atau UU yang sama sekali belum ada, penggantian UU atau mengganti UU yang lama yang jika perubahan materinya lebih 50 persen maka terjadi penggantian UU, dan perubahan UU atau mengubah UU yang lama jika perubahan materinya kurang 50 persen maka hanya terjadi revisi UU.
“Jika kurang 50 persen, termasuk hanya satu dua tiga pasal, tetap sama namanya, yaitu perubahan undang-undang. Tidak bisa karena materinya hanya terkait DPR, DPR saja yang bahas. Ini perbedaan undang-undang dengan tata tertib. Kalau tata tertib, silakan saja mereka yang bahas,” dia menyinggung hasil rujuk Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat yang kesepakatannya menghapus sejumlah pasal UU MD3 dan menjatah 21 kursi pimpinan alat kelengkapan DPR untuk KIH, sehingga pembahasan revisi UU MD3 difokuskan pada pasal-pasal yang disepakati dalam nota kesepahaman antara dua koalisi.
Pasek menegaskan putusan MK yang memberikan penegasan penafsiran dengan mengabulkan permohonan DPD untuk sebagian atas pengujian materi ayat, pasal, dan/atau bagian UU 27/2009 tentang MD3 serta UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan terhadap UUD 1945 yang menjelaskan posisi DPD dalam proses legislasi model tripartit.
“Kalau DPR mengkritisi Pemerintah karena tidak mau datang ke DPR, kita mengkritisi DPR karena memaksakan kehendak dan kemauan sendiri tanpa memperhatikan ketentuan yang berlaku: bahwa DPR, DPD, dan Pemerintah harus taat kepada putusan MK. Ketaatan ini bagian dari sumpah kita,” katanya.
Dia juga menyoroti mekanisme pembentukan panitia kerja revisi UU MD3 dalam Rapat Pleno Baleg DPR, Senin (24/11/2014), yang menyepakati Wakil Ketua Baleg DPR Fraksi Partai Demokrat Saan Mustopa selaku ketuanya.
“Mereka sepakat membentuk panja. Bagaimana mungkin, belum dibawa ke rapat paripurna kok dibentuk panja. Mestinya revisi UU atas persetujuan rapat paripurna, dikembalikan ke komisi atau badan yang menanganinya, kemudian dibentuk panja,” kata Gede Pasek.