Suara.com - Jaringan Gusdurian Jawa Timur menilai sikap pemerintah yang berencana mengosongkan kolom agama untuk pemeluknya di luar enam agama yang sudah ditetapkan pemerintah, bisa mengikis diskriminasi.
"Mengosongkan kolom agama di KTP merupakan langkah konstruktif untuk mengikis diskriminasi selama ini," kata Koordinator Jaringan Gusdurian Jatim Aan Anshori terkait polemik pengosongan kolom agama, Minggu (9/11/2014).
Pihaknya mendukung rencana pemerintah yang berencana mengosongkan kolom agama di kartu tanda penduduk elektronik(e-KTP). Masyarakat bisa mengosongkan kolom itu, jika merasa agama yang dianutnya tidak sesuai dengan yang sudah ditetapkan pemerintah.
Aan menilai, setiap setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mencantumkan agama atau keyakinan yang dianutnya. Pihak mana pun, termasuk Negara, tidak diperbolehkan memaksa seseorang untuk mengakui agama atau keyakinan di luar yang dipeluknya.
Menurut dia, maraknya respon terkait dengan rencana pengosongan kolom agama itu menunjukkan bahwa masyarakat menganggap status agama di KTP saat ini masih penting. Di Indonesia, agama yang diakui oleh pemerintah adalah enam.
Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 sebagai perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan disebutkan bahwa agama yang dicantumkan dalam e-KTP adalah agama resmi yang diakui Pemerintah yakni Islam, Kristen, Protestan, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Chu.
Namun, saat ini masih ada sekitar 1 juta warga Indonesia yang agama atau keyakinannya belum bisa diakomodasi dalam kolom KTP, dengan alasan yang tidak jelas. Bahkan, ujung-ujunya mereka harus memilih salah satu dari enam agama resmi tersebut.
"Mereka dipaksa memilih salah satu dari enam agama 'resmi' untuk dicantumkan. Kondisi ini pada gilirannya berimplikasi serius di kemudian hari. Mereka terkendala mendapatkan hak-haknya di sektor lainnya," tegasnya.
Pihaknya mengkritik praktik yang meminta agar warga memilih salah satu agama yang sudah resmi, dan dinilai memprihatinkan. Jika kondisi ini dibiarkan, Negara dinilai telah gagal memberikan jaminan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak beragama dan berkeyakinan sebagaimana tercantum dalam konstitusi.