Suara.com - Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyatakan tidak benar kolom agama di kartu tanda penduduk elekronik harus dikosongkan karena dalam kolom KTP wajib ada, sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang tentang Administrasi Kependudukan.
"Sesuai dengan undang-undang, warga negara Indonesia pemeluk agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khong Cu (Confusius), wajib hukumnya dicantumkan dalam kolom KTP-el (kartu tanda penduduk elektronik)," katanya di Semarang, Jumat (7/11/2014) malam.
"Dalam undang-undang kan sudah ada ketentuan bahwa wajib hukumnya mencantumkan agama yang jumlahnya ada enam yang sah dan diperingati secara nasional. Hal ini yang wajib diisi," tegas Mantan Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan itu.
Dalam UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU No. 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan Pasal 64 Ayat (1), disebutkan bahwa KTP-el mencantumkan gambar lambang Garuda Pancasila dan peta wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, memuat elemen data penduduk, yaitu NIK, nama, tempat tanggal lahir, laki-laki atau perempuan, agama, status perkawinan, golongan darah, alamat, pekerjaan, kewarganegaraan, pasfoto, masa berlaku, tempat dan tanggal dikeluarkan KTP-el, dan tanda tangan pemilik KTP-el.
Namun, Mendagri lantas bertanya, "Ada sebagian warga negara yang menganut keyakinan atau kepercayaan tertentu yang menurut mereka di luar ketentuan enam tersebut, terus bagaimana? Apa tidak boleh punya KTP-el yang keyakinannya berbeda, tetapi bukan aliran sesat?" Hal itu mengingat, kata Tjahjo, bagi penganut keyakinan tidak bisa mencantumkan agama dalam kolom agama. Oleh karena itu, banyak di antara mereka yang ditolak dapat KTP-el sebab yang bersangkutan tidak mau menulis kolom agama yang beda dengan keyakinannya.
Mendagri menegaskan bahwa pihaknya berkeinginan mengayomi semua warga negara Indonesia yang majemuk sehingga memberi kebebasan kepada mereka untuk mengisi atau mengosongkan kolom agama dalam kartu tanda penduduk.
"Keinginan saya pribadi agar kolom agama yang di luar enam agama resmi bisa dikosongkan," kata Tjahjo.
Tjahjo yang alumnus Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) Semarang menekankan, "Bahwa kita bukan penganut sekuler dan juga bukan negara agama, melainkan agama menjadi bagian dari tata kenegaraan kita." Mendagri menandaskan bahwa setiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban sesuai dengan agamanya masing-masing.
Sebelum ada keputusan resmi tersebut, kata Tjahjo, pihaknya harus berkonsultasi dengan Menteri Agama dan masukan dari tokoh-tokoh agama di Majelis Ulama Indonesia (MUI), Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), Parisada Hindu, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), dan lain-lain untuk mendengarkan mereka yang masuk kategori ajaran sesat apa saja.
"Kalau semua 'clear', baru Kemendagri mengeluarkan aturan resmi dan semua ada prosesnya dan Kemendagri kan ingin memberikan pengayoman kepada seluruh warga negara Indonesia yang mejemuk ini," tegasnya. (Antara)