Suara.com - Sekretaris Majelis Pakar Partai Persatuan Pembangunan Ahmad Yani menilai keputusan Kementerian Hukum dan HAM mengesahkan kepengurusan PPP hasil Muktamar VIII di Surabaya, Jawa Timur, bertentangan dengan undang-undang. Muktamar yang diselenggarakan tanggal 15-17 Oktober 2014 itu telah menetapkan Romahurmuziy sebagai Ketua Umum.
"Surat Menkumham (Yasonna H. Laoly) itu tidak sesuai dengan UU tentang partai, itu bertentangan dengan asas kepatutan, bertentangan dengan prinsip pelaksanaan pemerintahan yang baik dan berakuntabilitas. Karena Menkumham sendiri sudah tahu PPP ada konflik," kata Yani kepada suara.com, Rabu (29/10/2014).
Yani mengungkapkan bahwa Menkumham ketika masih dijabat oleh Amir Syamsuddin, melalui Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, menyatakan bahwa karena masih ada perselisihan di tubuh partai, maka penyelesaiannya diserahkan kepada Mahkamah Partai PPP.
"Nah, Mahkamah Partai PPP mengambil keputusan dan dinyatakan bahwa Muktamar Surabaya tidak sah, begitu juga Muktamar SDA juga tidak sah," kata Yani.
Lalu, Mahkamah Partai PPP menyerahkan kepada Rapat Pengurus Harian.
Yani juga menilai Menkumham Yasonna tidak dalam otoritas mengeluarkan kewenangan untuk mengesahkan PPP hasil Muktamar VIII. Yani menilai mekanismenya keliru.
"Jadi keputusan itu bersifat prematur," kata Yani.
Yani menganggap keputusan Menkumham Yasonna adalah bentuk dari intervensi pemerintah terhadap konflik internal partai.
"Kami tidak ingin mengatakan itu telah menyulut konflik," kata Yani.
Yani juga menuding keputusan Menteri Yasonna memiliki motif kepentingan politik.
"Pasti bermotif politik di balik ini. Kita tahu, menterinya dari PDI Perjuangan, kita tahu ini kawan-kawan Surabaya (Romahurmuziy dkk) ini sudah nyatakan diri masuk blok KIH (Koalisi Indonesia Hebat atau pendukung Presiden Jokowi). Kita tahu pada waktu muktamar, petinggi KIH datang," kata Yani.
"Ini jelas tindakan Menkumham salahi sumpah janji pada waktu diangkat menjadi menteri," Yani menambahkan.