Suara.com - Lembaga Bantuan Hukum Bandarlampung mengingatkan jangan sampai terjadi pelanggaran Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dalam pemberitaan Mayang Prasetyo, transgender korban mutilasi suaminya Marcus Volke di Australia.
"Mayang yang sesungguhnya adalah korban kekejaman suaminya justru mendapatkan pemberitaan yang miring seputar profesinya sebagai pekerja seks dan diekspose foto-foto vulgarnya sehingga diketahui publik," ujar Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandarlampung Wahrul Fauzi Silalahi di Bandarlampung, Sabtu (18/10/2014).
Seharusnya, demikian Wahrul, hal tersebut tidak dilakukan karena selain akan melanggar KEJ juga merupakan bentuk penghakiman yang "tidak pas" terhadap Mayang Prasetyo yang sesungguhnya adalah korban mutilasi dari suaminya.
"Seharusnya sisi kemanusiaan yang lebih ditonjolkan dalam pemberitaannya sehingga membuat penilaian masyarakat dan keyakinan masyarakat yang turut prihatin atas kondisi korban. Dengan diekspose keburukan-keburukan Mayang Prasetyo selama hidup, justru menimbulkan image bahwa Mayang Prasetyo memang layak meninggal secara mengenaskan karena perilakunya yang buruk selama hidupnya," ujar Wahrul pula.
Berkaitan dengan itu, LBH Bandarlampung bersama komunitas LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) Lampung menggelar malam solidaritas untuk almarhum Febri Andriansyah alias Mayang Prasetyo sebagai bentuk dukungan moral terhadap pemulangan jenazah Mayang, Jumat (17/10) mulai pukul 19.00 WIB.
Alian Setiadi, Kordinator Advokasi dan Solidaritas untuk Mayang, menegaskan LGBT tidak dapat dilepaskan dari pembahasan tentang seksualitas karena hal tersebut yang menyebabkan adanya diskriminasi dan kekerasan yang dialami oleh kalangan LGBT.
Seksualitas yang dimaksud, kata dia, memiliki makna yang luas, yaitu sebuah aspek kehidupan menyeluruh meliputi konsep tentang seks atau jenis kelamin, gender, orientasi seksual dan identitas gender, identitas seksual, erotism, kesenangan, keintiman, dan reproduksi.
"Seksualitas dialami dan diekspresikan dalam pikiran, fantasi, hasrat, kepercayaan/nilai-nilai, tingkah laku, kebiasaan, peran dan hubungan," ujarnya.
Namun, kata Alian menambahkan, tidak semua aspek dalam seksualitas selalu dialami atau diekspresikan. Seksualitas dipengaruhi oleh interaksi faktor-faktor biologis, psikologis, sosial, ekonomi, politik, sejarah, agama, dan spiritual sesuai dengan definisi WHO dalam Ardhanary Institute dan HIVOS.
Pada dasarnya, kata dia, terdapat dua pandangan tentang seksualitas yang saling berseberangan, yaitu antara kelompok yang mendasarkan pemikiran tentang seksualitas pada aliran esensialism, dan kelompok yang lain pada social constructionism.
Kelompok esensialism meyakini bahwa jenis kelamin, orientasi seksual, dan identitas seksual sebagai hal yang bersifat terberi dan natural sehingga tidak dapat mengalami perubahan.
Kelompok itu, kata dia, berpandangan bahwa jenis kelamin hanya terdiri atas dua jenis, yaitu laki-laki dan perempuan; orientasi seksual hanya heteroseksual; dan identitas gender harus selaras dengan jenis kelamin (perempuan-feminim; laki-laki-maskulin) menyebabkan kelompok yang berada di luar mainstream tersebut dianggap sebagai abnormal.
"Mayoritas masyarakat di Indonesia dikategorikan kelompok esensialisme tersebut yang menganggap keabnormalan tersebut menjadi alasan untuk menghakimi LGBT di setiap aspek kehidupan, setidaknya cibiran miring masyarakat terhadap para LGBT, baik selama hidup maupun hingga saat mereka meninggal dunia, seperti halnya yang terjadi pada almarhum Mayang Prasetyo," katanya lagi.
LBH Bandarlampung berkeyakinan bahwa Mayang Prasetyo sebagai sesama warga negara dan sesama makhluk Tuhan tentunya mendapat hak sama dengan orang lain yang tidak mengalami transeksual. Mayang layak mendapat empati dan doa dari seluruh masyarakat yang mengetahuinya.
Menurut Wahrul lagi, tidak ada pembedaan atas dasar kedudukan politik, hukum, atau kedudukan internasional dari negara atau daerah dari mana seseorang berasal, baik dari negara yang merdeka, yang berbentuk wilayah-wilayah perwalian, jajahan, maupun yang berada di bawah batasan kedaulatan yang lain. (Antara)