Suara.com - Dalam dua hari terakhir, masyarakat di Aceh, terutama di warung-warung kopi, membicarakan dan "mengupas" isu "pemekaran provinsi dan munculnya kelompok bersenjata" di daerah itu.
Kemudian, dari kedua isu tersebut ditanggapi beragam, terutama tentang munculnya tiga orang pemuda dan satu di antaranya memegang senjata api laras panjang jenis AK.
Publik di Aceh kembali teringat masa 10 tahun silam, ketika melihat gambar seorang pemuda memegang senjata api AK di sebuah gubuk yang disebut di pedalaman Aceh, yang disiarkan surat kabar harian "Serambi Indonesia".
Aceh sebelum 2005 atau ketika konflik pecah antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah RI, hampir setiap hari provinsi ini diselimuti duka karena kematian terdengar setiap saat akibat "perang" bersenjata kedua pihak berseteru itu.
Karenanya, wajar menarik perhatian orang ketika menyaksikan gambar kelompok bersenjata itu dengan pwenyataannya siap berjuang untuk mencari keadilan dari Pemerintah dibawah pimpinan Gubernur Zaini Abdullah dan Wagub Muzakir Manaf.
Kelompok sipil bersenjata di bawah pimpinan Nurdin Bin Ismail Amat Alias Abu Minimi, itu mengaku dirinya sebagai mantan kombatan GAM dengan menyatakan siap melawan Pemerintahan Aceh dibawah kepemimpinan Zaini Abdullah - Muzakir Manaf (Zikir).
Mereka mengaku kecewa terhadap Pemerintahan Zikir, karena dianggap tidak adil dalam memerhatikan nasib mereka sebagai mantan kombatan GAM sebagaimana yang diatur dalam perdamaian MoU Helsinki.
Menyikapi keberadaan kelompok bersenjata itu, Pemerintah Aceh mengimbau pihak-pihak tertentu agar tidak merusak perdamaian yang telah dirasakan masyarakat sejak penandatanganan nota kesepahaman (MoU) di Helsinki, Finlandia pada 15 Agustus 2005.
"Harus kita sadari bahwa situasi Aceh hari ini mulai membaik, dan jangan sampai rusak kembali. Kami minta media lebih arif menyikapi hal itu," ucap Kepala Biro Humas Pemerintah Aceh Murthalamuddin.
Libido untuk mencari sensasi atau eksistensi dengan memanfaatkan momentum merusak perdamaian seharusnya dihentikan. "Perdamaian ini, diakui atau tidak, sudah memberi kita banyak kenyamanan. Termasuk bagi pekerja media," katanya, menambahkan.
Oleh karenanya pemerintah meminta agar tidak ada pihak yang dapat merugikan situasi Aceh saat ini dengan membuat sensasi. Mari lihat perdamaian ini dengan mata hati, sehingga lebih jernih dalam melihat berbagai persoalan, tutur Murthalamuddin.
Semua kritikan yang muncul diterima dengan hati jernih dan lapang dada. "Tapi ingat, siapapun yang menjadi pemimpin di Aceh tidak akan mampu menyelesaikan semua keinginan itu seperti membalik telapak tangan," ujarnya, menambahkan.
Ia juga mencontohkan, negeri-negeri lain bekas konflik yang juga butuh waktu untuk membangun yang muaranya untuk kesejahteraan rakyat.
"Apa yang dilakukan YARA patut kita apresiasikan. Namun, akan lebih arif bila YARA mempersempit ruang munculnya penafsiran berbeda pihak lain dengan membuka dan mengekpose melalui media," tukas Murthalamuddin.
Dia juga mengajak mantan kombatan GAM tersebut untuk bersinergi dalam upaya menyelematkan perdamaian Aceh. "Kami minta marilah bahu membahu menyelamatkan perdamaian. Mari kita buka ruang dialog yang lebih baik. Lihatlah rakyat yang sudah lelah dengan konflik," ujarnya.
Murthalamuddin juga meminta semua pihak untuk tidak membesar-besarkan kelompok bersenjata itu. "Agar tidak menjadi tunggangan banyak pihak untuk merusak kembali nikmat damai yang sedang berlangsung sekarang," tandasnya.
Sementara itu, Dewan Pertimbangan Aceh Partai Aceh (DPA PA) meminta pihak tertentu tidak lagi menyeret daerah ini seperti masa konflik sebelum penandatanganan nota kesepahaman damai (MoU) Helsinki, Finlandia.
"Kini tugas kita bersama untuk menjaga dan merawat perdamaian, bukan malah menciptakan pola-pola lama yang akan kembali menyeret Aceh dalam konflik," ucap Juru bicara Dewan Pertimbangan Aceh Partai Aceh Suadi Sulaiman.
Suasana damai dan aman di Aceh sudah dirasakan bersama, setelah dihentikan konflik bersenjata selama puluhan tahun di Aceh, kata politisi Partai Aceh itu.
Menurut dia, serangkaian adanya pernyataan selama ini sangat provokatif, baik yang dimunculkan pribadi atau kelompok. Kondisi itu sangat disayangkan karena bisa mengarah kepada disintegrasi.
Butuh kepekaan bersama "Hari ini Aceh membutuhkan sentuhan lembut bukan kasar. Aceh butuh perhatian bukan provokasi-provokasi yang sudah kedaluwarsa," katanya, menambahkan.
Suadi menjelaskan, stabilitas politik, perekonomian dan pembangunan di Aceh memang berdampak langsung kepada kesejahteraan masyarakat. Tapi, yang dilakukan Pemerintah Aceh memang belum maksimal seratus persen.
"Karena itu, disinilah sangat dibutuhkan kepekaan dan kebersamaan kita untuk memberikan masukan kepada Pemerintah Aceh dibawah pimpinan Gubernur Zaini Abdullah dan Wagub Muzakir Manaf (Zikir). Namun, bukan dengan menunjukan sikap arogan yang bermuara pada kebencian," tukas dia.
Pembangunan dan perdamaian Aceh merupakan tanggung jawab bersama. "Kita boleh saja melakukan intervensi terhadap pemerintah, namun dalam arah membangun bukan membenci dan memecahbelah," ujar Suadi, menegaskan.
Karena itu, dibutuhkan adanya kerukunan yang beragam dan universal serta dapat menata kehidupan secara damai, saling menghormati, toleransi serta terintegritas dalam satu kata membangun dan menjaga Aceh, ujar dia.
"Aceh hari ini seperti bayi yang dilahirkan dari rahim konflik, maka tanggung jawab kita sekarang adalah merawat dan membesarkan bayi tersebut, sehingga akan memberikan perubahan sistematis dan berkelanjutan bagi Aceh," ucapnya, menjelaskan.
Kepada anggota DPR Aceh, ia juga berharap agar mampu benar-benar mengupayakan dan memperjuangkan aspirasi rakyat bagi semua sektor pembangunan Aceh keseluruhan, jangan hanya mempertahankan anggaran untuk daerah pemilihannya saja.
Pengamat politik dan hukum dari Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Darussalam M Adli Abdullah, menilai saat ini ada skenario pihak-pihak tertentu yang berkeinginan mengusik proses perdamaian yang sedang berjalan di Aceh.
"Saya melihat ada skenario dari pihak tertentu yang memainkan perannya untuk mengusik perdamaian di Aceh. Terkesan aktornya mirip seperti Aceh awal-awal Pemerintahan Irwandi-Nazar," tutur dosen Fakultas Hukum Unsyiah itu.
Ia berharap kepekaan aparat keamanan untuk segera menghentikan setiap gelagat kekerasan di Aceh. Dan berharap juga ada langkah-langkah politik, sehingga Aceh tidak kembali tergiring ke situasi konflik.
"Apapun alasannya, negara tidak boleh membiarkan adanya senjata api ilegal berada di tangan sipil. Tidak boleh dibiarkan, dan harus dikedepankan pendekatan hukum. Namun, tidak juga mengenyampingkan pendekatan musyawarah agar mereka mau menyerahkan senjatanya," ujarya.
M. Adli menyebutkan Aceh itu ibarat "rumput kering" yang mudah disuluti dan kemudian terbakar. "Karenanya saya melihat ada penggiringan agar konflik kembali terjadi di Aceh dan konsep konfliknya horizontal," tukas dia.
Konflik horizontal terjadi karena modal sosial dan politik Aceh sedang degradasi. Menurutnya konflik horizontal tersebut sangat bahaya, dan di Aceh jenis konflik itu pernah terjadi.
Apalagi, kata dia, munculnya kelompok sipil bersenjata itu bersamaan dengan gencar-gencarnya upaya Pemerintah Aceh mempromosikan potensi investasi untuk menarik minat investor di provinsi berpenduduk sekitar 5 juta jiwa tersebut.
Menurut dia, jika memang ada oknum masyarakat yang merasakan Pemerintah Provinsi Aceh tidak adil maka sebaiknya bisa disampaikan secara terbuka, termasuk melalui media massa karena ini adalah zaman domokrasi, bukan dengan kekerasan, apalagi sampai mengusik ketenangan dan kenyamanan hidup orang banyak.
"Ini zaman demokrasi yang sudah sepatutnya kita tinggalkan cara-cara kekerasan. Sampaikan jika memang ada ketidak-adilan. Saya yakin Pemerintah Aceh di bawah kendali Gubernur Zaini Abdullah dan Wagub Muzakir Manaf akan menyahuti semua aspirasi rakyat, terutama mantan kombatan GAM, karena mereka juga mantan GAM," kata dia, menjelaskan.
Di pihak lain, Adli juga mengimbau rakyat Aceh agar bersatu padu dan bahu membahu mengisi perdamaian ini dengan pembangunan guna mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran, sehingga bisa terwujud Aceh bermartabat dan sejahtera.
"Bagaimana Aceh bisa membangun jika kita tidak bersatu, apalagi jika kondisi keamanan tidak kondusif. Investor tidak akan mau datang ke Aceh jika daerah ini masih ada teror dan intimidasi," ujarnya.
Ke depan, harapannya semua aktor politik ikut serta dalam memberi rasa nyaman bagi Masyarakat Aceh dengan menjaga pernyataannya. Dan ikut memberi kontribusi positif dalam rangka konsolidasi massal masyarakat untuk bersatu, guna mempercepat kesejahteraan rakyat.
Karenanya, semua elemen bangsa, terutama Pemerintah Aceh harus benar-benar memahami bahwa ketidak-adilan dari berbagai aspek akan menjadi pemicu perlawanan, termasuk konflik bersenjata.
Perdamaian yang telah terajut selama ini hendaknya menjadi spirit bersama untuk melakukan perbaikan dan membangun guna mewujudkan keadilan, dan kesejahteraan bersama seluruh rakyat, sehingga sipil bersenjata api tidak lagi muncul di Aceh. (Antara)