Pelajar Indonesia di Australia: Orde Baru Bajak Demokratisasi di Indonesia

Doddy Rosadi Suara.Com
Jum'at, 03 Oktober 2014 | 11:05 WIB
Pelajar Indonesia di Australia: Orde Baru Bajak Demokratisasi di Indonesia
Suasana pengambilan keputusan RUU Pemilihan Kepala Daerah saat rapat paripurna anggota DPR RI di gedung Nusantara II Jakarta, Jumat (26/9) dinihari. [suara.com/Kurniawan Mas'ud]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Persatuan Pelajar Indonesia di Australia cabang Australian Capital Territory (PPIA ACT) sangat menyesalkan dan mengecam pengesahan Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).

Ketua PPIA ACT, Shohib Essir mengatakan, berdasarkan hasil kajian akademik yang telah banyak dilakukan mengenai pilkada langsung, PPIA ACT menyimpulkan bahwa telah terjadi pendidikan politik yang signifikan terhadap masyarakat Indonesia melalui pelaksanaan pilkada langsung sejak 2005.

Pilkada langsung secara pasti telah membuat kepala daerah lebih bertanggung jawab kepada masyarakat melalui aspek akuntabilitas vertikal yang terkandung di dalamnya.

“Selain itu, saat ini pelembagaan partai politik di Indonesia belum mampu menunjukkan perannya sebagai salah satu pilar demokrasi secara efektif. Hal ini ditunjukkan dengan kuatnya dominasi oligarki di dalam partai politik. Pilkada langsung merupakan mekanisme agar rakyat terlibat dalam menentukan sendiri pemimpin politiknya ketika partai politik belum mampu menjadi saluran agregasi kepentingan yang akuntabel.   Oleh karena itu, pemberlakuan kembali Pilkada oleh DPRD secara pasti mencabut hak konstitusional warga Negara untuk terlibat aktif dalam politik dengan memilih langsung pemimpinnya dan bertentangan dengan UUD 1945 pasal 18 ayat (4)  tentang kedaulatan rakyat,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima suara.com, Jumat (3/10/2014).

PPIA ACT menilai bahwa problematisasi pilkada langsung apakah ide ‘nilai asli Indonesia’ atau ‘impor nilai Barat’ telah digunakan sebagai retorika untuk mengembalikan otoritarianisme. Adapun penilaian ini diambil karena rezim Orde Baru menggunakan retorika yang persis sama untuk merepresi bangsa Indonesia selama 32 tahun.

Oleh karena itu, tindakan pemberlakuan pemilihan kepala daerah tidak langsung adalah contoh bagaimana kelompok  oligarki dengan cara berpikir Orde Baru-nya ingin membajak demokratisasi di Indonesia.

Berdasarkan hal di atas, PPIA ACT berpendapat bahwa upaya pemberlakuan kembali pilkada di tingkat kabupaten/kota dan provinsi dengan metode tidak langsung oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kontraproduktif dengan proses konsolidasi demokrasi di Indonesia yang telah berlangsung selama 16 tahun pasca runtuhnya rezim otoriter Orde Baru.

Karena itu, PPIA ACT menolak dan mengecam dengan keras atas pemberlakuan kembali pilkada tidak langsung di Indonesia. PPIA ACT juga mendukung segala upaya yang diusahakan oleh seluruh elemen masyarakat Indonesia untuk membatalkan pasal tersebut, termasuk melalui upaya uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi.

“Kami mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk bertanggungjawab atas kekisruhan ini dengan mengambil sikap tegas sebagai kepala Negara melalui keputusan politik resmi preside. PPIA ACT juga mendesak Presiden terpilih Joko Widodo untuk mengembalikan UU Pilkada kepada DPR RI ketika resmi menjabat dan berupaya untuk menjamin hak konstitusional warga Negara untuk memilih sendiri kepala daerahnya,” tegasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI