Suara.com - Saat ini, sebagian masyarakat terbawa pada langkah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang untuk usaha mengembalikan sistem pilkada langsung oleh rakyat.
Agar publik memahami tentang Perppu, anggota Dewan Pembina Partai Demokrat memberikan penjelasan soal itu, Jumat (3/10/2014). Mubarok mengatakan Perppu hanya dibutuhkan ketika dalam keadaan darurat atau kekosongan hukum.
Perppu yang sudah ditandatangani oleh Presiden, kata Mubarok, harus diajukan ke DPR untuk dilakukan pengujian.
"Apakah DPR juga memandang dalam keadaan darurat atau tidak," kata Mubarok kepada suara.com.
Mubarok menambahkan, Perppu merupakan buatan Presiden yang sifatnya subyektif. Untuk menjadikannya obyektif, kata Mubarok, maka harus diuji di DPR.
Pembahasan Perppu untuk menjadi UU melalui mekanisme yang sama seperti RUU. DPR, kata Mubarok, bisa menerima atau menolak.
"Kalau DPR menolak, ya tidak jadi UU," kata Mubarok.
Lebih jauh Mubarok mengatakan terkait dengan dua Perppu yang semalam ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, agar bisa jadi UU, maka harus diperjuangkan betul di DPR.
"Di situ teruji perjuangan orang-orang PDI Perjuangan. Mau memperjuangkan sungguh-sungguh ataukah tidak," kata Mubarok.
Kalau DPR menolak Perppu yang diajukan Presiden, maka UU Pilkada yang baru tetap diberlakukan. Dengan kata lain, pilkada langsung benar-benar dihapus, kemudian diganti pilkada diwakilkan ke anggota DPRD.
Adapun dua Perppu yang semalam ditandatangani Presiden SBY adalah, pertama Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Perppu ini untuk mencabut UU Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang mengatur bahwa kepala daerah dipilih oleh anggota DPRD.
Sebagai konsekuensi atas penerbitan Perppu Nomor 1 dan untuk memberikan kepastian hukum, ia juga menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Tahun 2014 tentang Pemda. Perppu ini, untuk menghapus tugas dan wewenang DPRD untuk memilih kepala daerah.