Suara.com - Ketua DPR Setya Novanto yang merupakan bendahara Partai Golkar sempat dikaitkan dengan sejumlah kasus korupsi. Pada era 90-an, nama Setya Novanto dikaitkan dengan kasus mega korupsi “cessie” Bank Bali.
Skandal ”cessie Bank Bali” bermula saat pemilik bank itui, Rudy Ramli, kesulitan menagih piutangnya yang tertanam di brankas Bank Dagang Nasional Indonesia, Bank Umum Nasional, dan Bank Tiara pada 1997. Nilainya sekitar Rp 3 triliun. Tagihan tak bisa dibayar hingga ketiga bank itu masuk perawatan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Rudy lantas menyewa jasa PT Era Giat Prima. Di perusahaan ini Joko Tjandra duduk sebagai direktur dan Setya Novanto sebagai direktur utamanya. Perjanjian pengalihan hak tagih (cessie) diteken pada Januari 1999. Yang luar biasa adalah fee-nya di mana Era bakal mengantongi separuh dari duit yang dapat ditagih. Pemberian “fee” yang besar itu dianggap janggal dan akhirnya kasus ini berlanjut ke pengadilan.
Setya Novanto kemudian menggugat Bank Bali secara perdata karena tidak mau mengucurkan komisi sebesar Rp546 miliar. Pada April 2000, pengadilan menyatakan Setya Novanto dan PT Era Giat Prima berhak atas uang komisi itu. Kasus tidak berhenti sampai di situ karena keputusan tersebut digugat ke Mahkamah Agung. Dalam keputusannya, MA menyatakan uang komisi itu menjadi milik Bank Bali.
Dalam kasus “cessie” Bank Bali ini, hanya Joko Tjandra, Pande Lubis (Wakil Ketua BPPN) dan Syahril Sabirin (Gubernur BI) yang divonis bersalah oleh pengadilan. Sedangkan Setya Novanto melenggang bebas. Begitu juga dengan Rudy Ramli, bos Bank Bali yang tidak terkena jerat hukum.
Lepas dari kasus Bank Bali, nama Setya Novanto ‘menghilang’ dari dunia politik. Dia lebih fokus sebagai bendahara Partai Golkar. Namanya mulai ‘didengar’ lagi ketika muncul kasus suap pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional XVIII dengan tersangka mantan Gubernur Riau, Rusli Zainal.
Setya juga harus menjalani pemeriksaan di KPK. Komisi Anti Rasuah itu pada 19 Maret 2013 pernah menggeledah ruang kerja Setya Novanto dan ruang anggota Fraksi Golkar Kahar Muzakhir.
Nama dua politikus Partait Golkar tersebut disebut dalam kasus ini dalam sidang Pengadilan Tipikor Pekanbaru oleh mantan Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Riau Lukman Abbas yang mengaku menyerahkan uang 1.050.000 dolar AS (sekitar Rp9 miliar) kepada Kahar Muzakhir sebagai langkah permintaan bantuan PON dari dana APBN Rp290 miliar.
Selanjutnya dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan paket penerapan kartu tanda penduduk berbasis nomor induk kependudukan secara elektronik (E-KTP) tahun anggaran 2011-2012 pada Kementerian Dalam Negeri, nama Setya Novanto disebut oleh mantan bendahara umum partai Demokrat Muhammad Nazaruddin.
Nazaruddin pernah mengadukan dugaan korupsi dalam proyek E-KTP kepada KPK antara lain mengenai aliran dananya yang disebut mengalir ke sejumlah anggota DPR seperti bendahara umum Partai Golkar Setya Novanto yang menerima RP300 miliar, Ketua dan Wakil Ketua Komisi II DPR dan anggota sebesar 2,5 persen dari anggaran, Ketua dan Wakil Ketua Banggar 2,5 persen dari anggaran hingga Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mendapat 2 juta dolar AS melalui adinya Azmi Aulia Dahlan.
Menurut Nazaruddin, proyek E-KTP, dikendalikan ketua fraksi Partai Golkar di DPR yaitu Setya Novanto, mantan ketua umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum yang dilaksanakan oleh Nazaruddin, staf dari PT Adhi Karya Adi Saptinus, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri dan Pejabat Pembuat Komitmen.
Terakhir, Setya Novanto juga pernah hadir dalam sidang dengan terdakwa mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dalam perkara dugaan korupsi pilkada di berbagai daerah.
Dalam sidang pada 14 April, Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Golkar Jatim sekaligus Ketua Bidang Pemenangan Pemilu Jawa Zainuddin Amali mengakui ada percakapan Blackberry Messenger (BBM) antara dirinya dengan Akil terkait pilkada Jatim.
Isi percakapan itu adalah Akil meminta untuk menyiapkan Rp10 miliar. Kalau tidak, maka pilkada Jatim akan diulang. Setya Novanto yang menjadi saksi pada sidang 24 April kemudian menyatakan bahwa ia melarang Zainuddin Amali mengurus pilkada Jatim.
"Pak Idrus menyampaikan itu, saya langsung larang, 'gak' usah diurus-urus itu lagi lah, benar kata Pak Sekjen, dan tidak ada permintaan uang dari Akil," kata Setya Novanto kala sidang 24 April 2014. (Antara/Berbagai Sumber)