Suara.com - Pengamat Politik dari Universitas Pelita Harapan Emrus Sihombing menilai proses pembentukan kabinet pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla tidak terbuka.
"Ini berkesan transaksional. Susunan kabinetnya yang ada tidak melibatkan publik. Dikerjakan di belakang panggung (lewat Tim Transisi). Kalau di panggung belakang rawan terjadi politik transaksional, beda kalau di depan, orang bisa mengontrol," kata Emrus dalam diskusi bertema 'Membawa arah kabinet Jokowi-JK, Kabinet Trisaksi atau Transaksi?' di Cikini, Jakarta, Minggu (28/9/2014).
Menurut Emrus kemenangan partai-partai yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih dalam menggolkan UU Pilkada bisa menaikkan posisi politik koalisi tersebut. Di situlah, kemudian rawan terjadi transaksi politik.
"Sekarang Jokowi yang butuh mereka (Koalisi Merah Putih), kalau tidak, Jokowi bisa saja digrogoti dari bawah, bupati, wali kota, gubernur. Melihat realitas ini, dengan RUU Pilkada, perhitungan ini menjadi nilai tawar ke Jokowi," kata Emrus.
Emrus memprediksi pembentukan Kabinet Trisakti sulit terealisasi. Trisakti berarti berdikari dalam ekonomi, berdaulat dalam politik, dan berkepribadian dalam kebudayaan.
"Karenanya, menteri-menteri itu harus ideologi, jangan pragmatis. Dia harus anak ideologisnya Soekarno bisa dari PDI Perjuangan, relawan atau profesional akademik. Kalau tidak dia melanggar pemerintah sebab dia mengatakan pemerintahannya membawa idealisme Trisakti," ujarnya.
Kabinet Trisakti terdiri dari 34 kementerian. Delapan belas kementerian akan diisi kalangan profesional murni, sedangkan 16 kementerian lagi diisi profesional dari partai politik.