Suara.com - Pemerintah seharusnya mempersulit pembebasan bersyarat kepada terpidana kasus korupsi. Aktivis anti-korupsi dari Pusat Kajian Anti-korupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada, Hifdzil Alim mengungkapkan, seseorang yang melakukan korupsi berarti telah melakukan tindak pidana khusus.
Sesuai aturan, kata dia, narapidana kasus tindak pidana khusus tetap berhak menerima pembebasan bersyarat namun prosesnya dipersulit. Kata dia, pembebasan bersyarat itu merupakan fasilitas negara sehingga bisa diberikan dan bisa juga tidak diberikan.
“Itu semua diatur dalam PP no 92 tahun 2012 di mana pelaku tindak pidana khusus akan dipersulit apabila mengajukan permohonan pembebasan bersyarat. Tindak pidana khusus itu antara lain korupsi, terorisme, perdagangan orang dan psikotropika,” kata Hifdzil ketika dihubungi suara.com melalui sambungan telepon, Selasa (23/9/2014).
Hifdzil menambahkan, pemberian bebas bersyarat merupakan hak dan bukan kewajiban pemerintah. Dia memberi contoh, seorang narapidana yang divonis 20 tahun penjara maka berhak mengajukan pembebasan bersyarat pada tahun ke-17.
Namun, pemerintah bisa tidak memberikan pembebasan bersyarat apabila narapidana tersebut dianggap masih membahayakan bagi masyarakat sekitat. Menurut dia, penolakan pemberian pembebasan bersyarat juga tidak melanggar aturan.
Sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM memberikan pembebasan bersyarat kepada narapidana kasus korupsi Anggodo Widjojo. Meski belum menjalani 2/3 hukuman, Anggodo dibebaskan secara bersyarat dengan alasan yang bersangkutan sakit-sakitan.