Suara.com - Mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, menyatakan penilaian Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang mengatakan adanya ikatan psikologis antara saksi dan terdakwa dalam persidangan adalah tuntutan yang mengada-ada.
Hal tersebut disampaikannya karena, saksi tersebut tidak dihadirkan oleh dirinya dan penasihat hukumnya, melainkan dihadirkan oleh jaksa sendiri.
"Jaksa menilai bahwa adanya ikatan psikologis antara terdakwa dengan saksi, baik itu secada historis pekerjaan dan organisasi merupakan suatu tuntutan yang mengada-ada dan merupakan dalil yang dipaksakan," katanya di Pengadilan Tipikor, Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan, Kamis (18/9/2014).
Selain saksi yang memiliki ikatan psikologis, dia juga menilai bahwa dakwaan jaksa yang hanya berpatokan pada keterangan saksi Muhamad Nazarudin yang dinilainya sangat tidak layak.
Menurutnya, sejak awal Nazarudin ingin menyeret dan menjatuhkan dirinya dalam masalah yang dialaminya.
"Dakwaan jaksa yang hanya berpatokan pada keterangan Muhamad Nazaruddin, sangatlah tidak layak, karena sejak awal ingin menjatuhkan saya dalam kasus yang dialaminya dan istrinya, Neneng Sriwahyuni," tambah Anas.
Anas juga mengkritik defenisi politik yang disampaikan oleh jaksa. Menurutnya, korupsi politik adalah sebuah kebijakan yang awalnya untuk kebijakan publik namun akhirnya hanya untuk kepentingan orang tertentu atau kelompok tertentu saja.
Dia juga mengutip defenisi korupsi politik yang diambil dari salah satu kampus terkenal di dunia.
"Defenisi korupsi politik yang disampaikan jaksa sangat bernuansa politik, padahal sebenarnya korupsi politik adalah sebuah tindakan yang salah dilakukan seseorang pada saat dia berada dalam jabatannya, tentunya jabatan politik," tutup Anas.