Suara.com - Gerakan penolakan terhadap pilkada tidak langsung atau dipilih melalui DPRD dinilai membuktikan persepsi publik terhadap kinerja dan perilaku DPRD masih buruk.
"Adanya gerakan penolakan terhadap pilkada kembali ke DPRD oleh elemen masyarakat dan kepala daerah menunjukkan bahwa persepsi publik terhadap kinerja dan perilaku DPRD selama ini memang buruk," kata pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Kupang, Dr. Ahmad Atang MSi, Rabu (17/9/2014).
Menanggapi reaksi elemen masyarakat dan kepala daerah terhadap wacana Pilkada oleh DPRD itu, ia menjelaskan reaksi itu menjadi pukulan berat bagi partai politik dalam melakukan rekrutmen terhadap kader untuk menduduki jabatan politik di parlemen.
"Kader yang tidak memiliki ideologi kerakyatan akan memandang jabatan tersebut sebagai investasi, bukan transformatif, karena mereka tidak memiliki wawasan politik yang memadai dalam menjalankan fungsi parlemen," katanya.
Menurut dia, hal yang ada pada benak mereka justru kekuasan untuk uang, bukan kesejahteraan rakyat.
"Politisi itu seharusnya bermodal kepercayaan, bukan hanya kapasitas," katanya.
Oleh karena itu, sistem politik yang labil melahirkan parpol yang labil. Parpol yang labil melahirkan DPRD yang labil dan kelabilan DPRD melahirkan demokrasi yang labil pula.
"Jadi, menurut saya, semua pihak harus instrospeksi tanpa harus cuci tangan menjadi orang yang paling bersih. Justru, kita semua yang membuat bersih menjadi kotor karena orang baik belum tentu akan terus baik ketika menjadi DPRD," katanya. (Antara)