Suara.com - Saat ini, fraksi-fraksi di DPR RI terbelah dalam pembahasan RUU Pilkada. Kubu PDI Perjuangan menginginkan mekanisme pilkada tetap dipertahankan seperti sekarang, yaitu langsung oleh rakyat. Sedangkan kubu Koalisi Merah Putih ngotot ingin pilkada tidak langsung atau dipilih oleh anggota DPRD.
Dimana posisi Partai Demokrat dalam hal ini? Melalui video di Youtube yang diunggah akun “Suara Demokrat” dengan judul Posisi SBY dalam RUU Pilkada, pada Minggu (14/9/2014) malam, penjelasan SBY menyiratkan bahwa ia memilih untuk tetap mempertahankan sistem pilkada langsung.
"Ya, ini menarik dan saya tahu rakyat sedang menunggu posisi Partai Demokrat, bahkan disebut-sebut posisi SBY, begitu," kata SBY.
SBY mengatakan partainya tengah bekerja keras untuk merumuskan pemikiran. Malam Minggu yang lalu, SBY mengaku berdiskusi dengan para kader Demokrat untuk menentukan posisi Demokrat di tengah perdebatan di Parlemen.
"Begini, saya khawatir kalau voting pada tingkat Parlemen, itu sudah pokoknya yang satu kubu A, dan pokoknya yang satu kubu lagi B. Orang mengatakan ini sudah peperangan harga diri. Pokoknya kalau yang di sana katakan A, yang sebelah sini pasti tidak setuju. Pertanyaan saya, apakah begitu. Untuk melahirkan sebuah UU yang sangat penting yang akan menjadi roh demokrasi kita, untuk kepentingan rakyat kita," kata SBY.
Partai Demokrat, kata SBY, melihat ada dua aspek penting yang mesti dilihat secara jernih dalam pembahasan RUU Pilkada. Pertama, kata SBY, sistem pilkada langsung sudah jalan 10 tahun dan rakyat sudah terbiasa melaksanakannya.
"Dan kalau kita lihat, benang merahnya ini segaris dengan sistem presidensiil, dimana presiden dipilih secara langsung. Berbeda dengan sistem parlementer, pemimpin, apakah perdana menteri atau jabatan yang setara, dipilih oleh Parlemen karena rakyat pilih Parlemen," kata SBY.
SBY mengingatkan bahwa mekanisme pilkada langsung merupakan buah dari reformasi yang diinginkan masyarakat Indonesia selama ini.
"Tentunya pilkada langsung itu, mesti kita jaga dan pertahankan. Demikian pula pemilihan presiden secara langsung," kata dia.
Aspek yang kedua adalah selama 10 tahun terakhir banyak ekses yang terjadi dalam pilkada langsung, baik gubernur, bupati, maupun wali kota. Misalnya, banyak sekali ditengarai money politic, kemudian konflik horisontal.
"Itulah yang melahirkan pemikiran dari sejumlah kalangan apakah layak dipertahankan sistem seperti itu karena mudharatnya atau eksesnya itu besar. Berarti ada yang keliru dalam sistemnya. Oleh karena itu muncul, ada keinginan mengubah yang tadinya langsung menjadi tidak langsung, biarkan pemilihan presiden saja yang langsung," kata SBY.
Partai Demokrat, kata SBY, berpikir pilkada langsung tetap dipertahankan, tetapi ekses yang muncul selama ini dicegah.
"Penyakit-penyakit tadi itu, ekses yang tidak sedikit itu kita cegah, kita hilangkan dalam UU yang baru. Jadi pasal-pasalnya harus tegas dan mengikat. misalnya, bagi yang melaksanakan kekerasan horisontal, yang bertanggung jawab ditindak secara hukum," kata SBY.
Selain itu, Demokrat juga memikirkan varian sistem pilkada. Misalnya, pilkada gubernur dipilih tidak langsung atau diwakilkan lewat DPRD, tetapi pilkada bupati/wali kota tetap dipilih secara langsung.
"Sistem apapun ada plus minusnya. Tapi, kalau saya pribadi, yang sudah 10 tahun pimpin pemerintah, kalau kita dulu memang ingin pilkada langsung, itulah yang seharusnya kita jaga," kata SBY.