Suara.com - Pemilihan kepala daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bisa memicu peningkatan kasus korupsi. Hal itu diungkapkan Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran Indonesia Corruption Watch (ICW), Firdaus Ilyas.
"Bisa memicu kasus korupsi lebih tinggi karena melalui mekanisme DPRD ini bisa melahirkan modus aktor atau pola korupsi baru," katanya dalam diskusi Pemaparan Hasil Pemantauan Iklan Capres di Jakarta, Kamis (11/9/2014).
Menurut Firdaus, penyelenggaraan dan proses pilkada secara langsung memang memakan biaya lebih mahal akan tetapi dengan pilkada oleh DPRD justru melahirkan dampak yang lebih besar.
"Kalau bicara dampak tidak langsung dan tidak terlihat dengan melalui mekanisme DPRD bisa melahirkan modus aktor atau pola korupsi baru bahkan bisa menyandera DPRD selama lima tahun. Kepentingan politik tergadaikan, tidak diperhatikan," jelasnya.
"Dan yang harus dikedepankan adalah bagaimana aspirasi dan substansi kedaulatan rakyat terakomodasi. Nilai substansi jauh lebih penting dibandingkan teknis. Sehingga pemilu harus representasi dari publik yakni dengan pemilu langsung skemanya," kata Firdaus.
Ia menambahkan, penekanan penyelenggaraan pemilu bisa ditekan lewat keputusan MK soal penyelenggaran pemilu serentak. Penyelenggaraan Pemilu Legislatif, pemilu Presiden 2019 dan seterus akan digelar serentak.
Menurut Firdaus, pemilu serentak bisa menghemat anggaran karena ada beberapa pos pembiayaan yang disatukan, termasuk honor penyelenggara pemilu dan anggaran logistik.
"Kalau bicara soal penghematan biaya, kan sudah ada keputusan pemilu langsung dan serentak. Ini teknik penghematan biaya, artinya saat pemilu serentak kita sudah pilih semua dari presiden, anggota DPR dan kepala daerah," ujar Firdaus.
Berdasarkan rapat panitia kerja (Panja) RUU Pilkada, Selasa (9/9/2014), semua partai pendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa itu tetap memegang teguh pada kesepakatan mereka agar pilkada dipilih oleh DPRD, kembali seperti pada Orde Baru.