Suara.com - LSM HAM Amnesty International mendesak Presiden-terpilih Joko Widodo (Jokowi) untuk memastikan bahwa rencananya untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu juga mencakup akuntabilitas bagi kasus pembunuhan pembela HAM Munir Said Thalib. Setelah perjuangan satu dekade, kemenangan Jokowi membawa secercah harapan bagi keluarga Munir dan kawan-kawannya bahwa semua pelaku akan dibawa ke muka keadilan.
Munir merupakan pejuang HAM terkenal di Indonesia, yang mengangkat perjuangan kasus penghilangan paksa belasan aktivis yang menjadi korban penghilangan paksa selama bulan-bulan terakhir pemerintahan Suharto pada 1998. Munir juga berperan penting dalam mengungkapkan bukti pertanggungjawaban militer atas pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh dan Timor-Leste.
Munir ditemukan tewas dalam penerbangan Garuda dari Jakarta menuju Amsterdam pada 7 September 2004. Sebuah autopsi yang dilakukan oleh otoritas Belanda menunjukan bahwa Munir tewas akibat racun arsenik. Meskipun tiga orang dari maskapai Garuda telah divonis bersalah atas pembunuhan tersebut, ada tuduhan yang kredibel bahwa mereka yang bertanggung jawab di tingkat tertinggi di pemerintahan belum dibawa ke muka hukum.
Pada 2008, Muchdi Purwoprandjono, mantan deputi kepala dari Badan Intelijen Negara, bebas dari dakwaan membantu dan mendorong pembunuhan Munir. Organisasi-organisasi HAM menyimpulkan bahwa persidangannya tidak sesuai dengan standar-standar internasional akan keadilan setelah saksi-saksi kunci menarik kembali keterangan tersumpah mereka dan gagal bersaksi di persidangan.
Pada Februari 2010, Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) juga mengidentifikasi cacat-cacat dari investigasi kepolisian, penuntutan, dan persidangan Muchdi dan merekomendasikan investigasi baru dari kepolisian.
Amnesty International mendesak Jokowi untuk menginisiasi sebuah investigasi yang independen dan baru atas pembunuhan Munir dan membawa pelaku-pelaku di segala tingkatan ke muka hukum dengan cara-cara yang sesuai dengan standar-standar HAM internasional.
Sebagai langkah kunci menuju pencarian kebenaran, pihak-pihak berwenang juga harus membuka ke publik laporan Tim Pencari Fakta (TPF) 2005 resmi atas pembunuhan Munir yang dilaporkan menyebut keterlibatan pejabat-pejabat senior lembaga intelijen.
“Jokowi juga harus menginstruksikan Jaksa Agung untuk melakukan evaluasi terhadap proses hukum yang lalu atas kasus ini, termasuk dugaan pelanggaran atas standar-standar HAM internasional,” demikian keterangan tertulis dari Amnesty Internasional yang diterima suara.com, Jumat (5/9/2014).
Minimnya akuntabilitas dalam kasus Munir menyumbang pada iklim ketakutan yang terus berlangsung di antara para pembela HAM. Meskipun ada komitmen dari pemerintah Indonesia untuk menyediakan perlindungan yang memadai bagi para pembela HAM – termasuk pada evaluasi Peninjauan Berkala Universal (UPR) di Dewan HAM PBB pada Mei 2012 – mereka masih diancam, diintimidasi, dan diserang karena kerja-kerja mereka.