Suara.com - Kepala Sub Direktorat Komunikasi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham, Akbar Hadi, menegaskan bahwa pembebasan bersyarat pengusaha Hartati Murdaya dalam kasus suap pengurusan izin usaha perkebunan dan hak guna usaha di Buol, Sulawesi Tengah, sesuai prosedur.
"Pembebasan bersyarat kepada warga binaan Hartati Murdaya telah memenuhi persyaratan substantif dan administratif," kata Akbar Hadi dalam pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin (1/9/2014).
Sejak 23 Juli 2014, menurut Akbar, Hartati yang divonis 2 tahun 8 bulan penjara itu berhak mendapatkan pembebasan bersyarat karena telah menjalani dua pertiga masa pidana.
"Saat ini yang bersangkutan masih melaksanakan kewajibannya menjadi klien badan pemasyarakatan Jakarta Pusat diantaranya wajib melapor sebulan sekali," tambah Akbar.
Menurut Akbar, Pembebasan Bersyarat (PB) tersebut sudah sesuai dengan prosedur sebagaimana ketentuan Peraturan Pemerintah No 99 tahun 2012 tentang perubahan kedua atas peraturan PP No 32 tahun 1999 tentang syarat dan tata cara hak warga binaan Pemasyarakatan tanggal 4 Juni 2014.
"Selama menjalani pidana yang bersangkutan juga tidak pernah mendapatkan remisi," ungkap Akbar.
Proses pemberian PB tersebut telah melalui sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan baik tingkat Rutan Pondok Bambu, tingkat wilayah DKI Jakarta dan tim tingkat pusat.
Sebelumnya peneliti Indonesia Corruption Watch Emerson Yuntho menyatakan bahwa pemberian PB tersebut cacat hukum.
"Remisi dan PB untuk seorang koruptor, termasuk dalam hal ini Hartati Murdaya sangat mengecewakan dan merupakan cermin buruk bagi upaya pemberantasan korupsi. Kondisi ini juga sangat ironis dan kotradiksi dengan upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh institusi penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi," kata Emerson.
Pemerintah, menurut Emerson, dapat dianggap terlalu murah hati untuk para koruptor. Selain itu tindakan remisi dan PB juga dipastikan akan mengurangi efek jera untuk para koruptor.