Suara.com - Pakar hukum UGM Edward Oemar Syarief menyatakan terdakwa kasus korupsi proyek Hambalang, Anas Urbaningrum, bisa saja dibebaskan jika jaksa gagal membuktikan pencucian uang harta kekayaannya.
Menurut Edward yang dimintai keterangan menjadi saksi ahli dalam dugaan korupsi Hambalang di Pengadilan Tipikor, Kamis (28/8/2014), Jaksa akan menghadapi kesulitan karena menjerat bekas ketum Partai Demokrat itu dengan UU 8/2010 tentang pencucian uang.
Mendapat angin segar soal kemungkinan bebas dan kesulitan pembuktian jaksa dari Edward, Anas langsung bertanya detail tentang proses pengertian pencucian uang yang dimaksud saksi ahli.
“Seseorang sebut saja A, disebut menyuruh B untuk meminta uang kepada X melalui S dan Y. Tapi S dan Y sendiri tidak yakin ia disuruh B atas perintah A untuk meminta ke X. Dan A serta X juga merasa tidak pernah meminta atau memberi sesuai permintaan, menurut Ahli itu seperti apa ?,” tanya Anas dipersidangan, Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan, Kamis (28/8/2014).
Edward menjelaskan, bila memang A tidak pernah menerima atau pemberian itu tidak terbukti pernah sampai, maka A tidak dapat dijerat dakwaan.
Dia berpendapat, akan menjadi kesesatan fakta jika dakwaan yang diterapkan tanpa adanya bukti dan saksi kuat, tapi tetap dipaksakan untuk menjerat seseorang.
“Siapa pun yang mendakwa (menuduh) dia lah yang harus membuktikan. Dan jika tidak bisa dibuktikan, maka terdakwa harus dibebaskan,” jelas Edward.
“Termasuk jika uang yang ditudingkan tidak pernah diterima, apakah tetap bisa dibebaskan ?,” sambung Anas.
“Ya, iya, jika tidak terbukti artinya harus dibebaskan,” kata Edward.
Anas mengaku sengaja menggunakan abjad sebagai analogi pihak-pihak yang disebut terlibat dalam aliran dana kasus Hambalang.
“Saya bukan ahli hukum jadi untuk mennyederhanakan saja,” kata dia.
Anas dalam perkara ini diduga menerima "fee" sebesar 7-20 persen dari Permai Grup yang berasal dari proyek-proyek yang didanai APBN dalam bentuk satu unit mobil Toyota Harrier senilai Rp670 juta,satu unit mobil Toyota Vellfire seharga Rp735 juta, kegiatan survei pemenangan Rp478,6 juta dan uang Rp116,52 miliar dan 5,26 juta dolar AS dari berbagai proyek.
Anas juga diduga melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) harta kekayaannya hingga mencapai Rp23,88 miliar.