Suara.com - SETARA Institute mendesak presiden dan wakil presiden terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dengan melakukan rekonsiliasi nasional.
Wakil Ketua Badan Pengurus SETARA Institute Bonar Tigor Naipospos di Jakarta, Rabu (27/8/2014), mengungkapkan tugas yang mendesak dari pemerintahan Jokowi-JK adalah menyusun rancangan undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Menurut Bonar, jika memang memakan waktu lama menyusun RUU, Jokowi-JK bisa lebih dulu membentuk Peraturan Presiden tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
"Kami mendesak pemerintahan Jokowi-JK menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu dengan melakukan rekonsiliasi. Ini tantangan bagi pemerintahan Jokowi-JK," tegas Bonar.
Seluruh kasus pelanggaran HAM yang telah dikualifikasi sebagai pelanggaran HAM berat (kejahatan serius) juga tidak ada yang diadili, seperti kasus kekerasan 1965, kasus Aceh, Papua, penculikan atau penghilangan orang, Tanjung Priok, Talangsari Lampung, Trisakti-Semanggi I dan II, kasus Munir, dan lainnya.
Sementara Sekretaris Dewan Nasional SETARA Institute Benny Soesetyo mengatakan, rekonsiliasi bukan untuk mengungkit masa lalu melainkan untuk membangun lembaran baru sehingga terjadi peradaban suatu bangsa.
"Rekonsiliasi bukan untuk mengungkit masa lalu, tapi memandang masa depan dengan cara pelaku kejahatan HAM mengakui kesalahannya, saling memaafkan, membangun lembaran baru," jelas Benny.
SETARA Institute juga meminta Jokowi-JK menerbitkan Keputusan Presiden tentang pembentukan pengadilan HAM atas kasus penghilangan orang secara paksa 1997-1998 sebagaimana rekomendasi DPR RI 2009.
Mereka berharap Jokowi-JK memerintahkan Kejaksaan Agung untuk memulai penyidikan terhadap kasus-kasus yang sudah diselidiki oleh Komnas HAM sebagai pelanggaran HAM berat. (Antara)