Suara.com - Hari ini, Senin (11/8/2014), di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi akan membacakan tuntutan terhadap Ratu Atut Chosiyah, Gubernur Banten non aktif. Ratu Atut diproses ke Pengadilan Tipikor karena diduga turut menyuap Akil Mochtar selaku Ketua Mahkamah Konstitusi terkait dengan urusan sengketa Pilkada Lebak Banten. Ratu Atut didakwa menyuap sebesar Rp1 miliar kepada Akil melalui pengacara Susi Tur Andayani.
Jaksa Penuntut Umum menjerat Ratu Atut dengan Dakwaan Berlapis yaitu Pasal 6 Ayat (1) huruf a dan Pasal 13 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 6 Ayat (1) huruf a berbunyi: dipidana dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp150 juta dan paling banyak Rp750 juta setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili.
Pasal 13 berbunyi: setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan atau denda paling banyak Rp150 juta.
Selain Ratu Atut, dalam kasus suap terhadap Akil Mochtar untuk penyelesaian sengketa Pilkada Lebak juga melibatkan Tubagus Chaeri Wardana (Wawan) dan Susi Tur Andayani. Wawan dan Susi telah lebih dulu divonis lima tahun penjara oleh Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta.
Dalam perkara Wawan dan Susi, majelis hakim dalam pertimbangan putusannya menyatakan Wawan terbuktu memberikan suap kepada Akil dalam dua sengketa Pilkada. Pertama, sebesar Rp1 miliar dalam Pillkada Lebak melalui Susi atas permintaan Amir Hamzah. Meski suap belum diterima langsung oleh Akil, namun unsur menjanjikan sesuatu terbukti. Kedua, sebesar Rp7,5 miliar dalam Pilkada Gubernur Banten 2011 untuk memenangkan pasangan Ratu Atut Choisiyah–Rano Karno yang digugat tiga pasangan yang lain.
Praktek penyuapan yang dilakukan oleh Ratu Atut bersama dengan Wawan juga diperkuat dengan fakta-fakta yang muncul dalam proses persidangan Ratu Atut maupun dalam persidangan dalam perkara yang lain yang melibatkan terdakwa Wawan serta Akil Mochtar. Pada intinya telah terjadi pertemuan antara Akil Mochtar dengan Ratu Atut dan Wawan di Singapura untuk membicarakan sengketa pilkada di Lebak dan telah terjadi upaya penyuapan terhadap Akil Mochtar melalui Susi untuk proses penyelesaian sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi.
Dalam perkara ini, kata Emerson Yuntho dari Indonesia Corruption Watch, setidaknya ada lima alasan pemberatan sehingga Ratu Atut layak dituntut hukuman super maksimal, yaitu yang pertama Ratu Atut saat itu sebagai Gubernur Banten seharusnya dapat menjadi contoh yang baik bagi warga Banten.
"Namun yang terjadi sebaliknya menjadi contoh yang buruk bagi warga banten dan mencoreng nama baik Pemerintah Provinsi Banten," kata Emerson.
Kedua, kata Emerson, tindakan Ratu Atut tidak sejalan dengan program pemerintah khususnya program pemberantasan korupsi. Alih-alih ikut terlibat dalam memberantas korupsi yang dilakukan oleh Ratu Atut justru terlibat dalam perkara korupsi.
Ketiga, melanggar komitmen antikorupsi yang pernah ditandatangani dan didorongnya sendiri. Ratu Atut adalah salah satu dari 22 Kepala Dearah bersama KPK pernah menandatangani Deklarasi Antikorupsi pada 9 Desember 2008 yang salah satu intinya menyatakan tidak akan melakukan korupsi. Lalu pada 20 Maret 2012, Ratu Atut selaku Gubernur Banten pernah mengimbau seluruh kepala daerah se-Banten untuk mencegah KKN di lingkungkan birokrasi pemerintah Provinsi Banten. Hal ini disampaikan pada acara penandatanganan Pakta Integritas para Wali Kota dan Bupati seluruh Provinsi Banten di Pendopo Gubernur.
Keempat, kata Emerson, suap yang dilakukan Ratu Atut kepada Akil Mochtar bukan sekadar suap kepada pejabat negara biasa. Akil yang kala itu adalah seorang hakim MK punya peran besar dalam proses penegakan hukum serta upaya mengangkat citra penegak hukum di mata masyarakat. Karenanya perbuatan Ratu Atut juga berimbas pada runtuhnya kepercayaan masyarakat pada penegakan hukum dan nilai negara hukum.
“Kelima, merusak proses demokrasi khususnya di Lebak Banten. Pilkada merupakan salah satu proses membangun demokrasi di negeri ini,” kata Emerson. “Tindakan Ratu Atut menyuap Akil Mochtar proses sengketa Pilkada pada akhirnya memberikan dampak buruk rusaknya demokrasi yang dibangun khususnya di daerah Banten.”
Dengan hukuman yang maksimal untuk Ratu Atut diharapkan pula dapat memotong mata rantai atau bahkan mengakhiri dinasti keluarga dan kolega Ratu Atut di wilayah Banten. Bukan rahasia umum selama ini keluarga maupun kolega Ratu Atut menguasai hampir sebagian jabatan kepala daerah maupun posisi penting yang ada di wilayah Banten.
Selain itu, tuntutan dan vonis maksimal ini diharapkan dapat memberikan efek jera terhadap pelaku dan peringatan bagi para kepala daerah lain untuk tidak melakukan praktek korupsi serupa yang dilakukan oleh Ratu Atut.
Berdasarkan uraian tersebut Indonesia Corruption Watch bersama dengan Masyarakat Transparansi (MATA) Banten mendesak KPK agar, satu, melalui Jaksa Penuntut Umum KPK untuk menuntut Ratu Atut dengan hukuman maksimal sesuai Pasal 6 Ayat (1) huruf a UU Tipikor yaitu 15 tahun penjara, denda Rp750 juta. Ratu Atut juga harus dituntut dengan hukuman tambahan -sebagaimana diatur Pasal 18 UU Tipikor- berupa pencabutan hak politik (untuk memilih dan dipilih) dan dicabut juga hak memperoleh dana pensiun atau fasilitas lainnya yang diperoleh dari negara.
Kedua, melanjutkan penuntasan perkara korupsi lain seperti pengadaan alat kesehatan dan tindak pidana pencucian uang yang juga melibatkan Ratu Atut. Penuntasan perkara tersebut ini penting agar Atut dapat dimiskinkan dan membuat pelaku lainnya terungkap, demikian dikatakan Emerson.