Suara.com - Direktur Migrant Care Anis Hidayah mengungkapkan, setidaknya ada sepuluh modus dan titik rawan proses pemerasan terhadap TKI di terminal kedatangan bandara.
Sebagian bukan hanya dilakukan pelaku swasta, tetapi di beberapa titik juga melibatkan petugas di bandara.
"Mulai dari pemaksaan porter barang, regulasi penukaran uang, tarif angkutan yang tidak wajar, pemaksaan pengiriman barang lewat kargo, kemudian pemaksaan tinggal lebih lama di bandara, pembelian voucher atau sim card baru, pembelian asuransi," ungkap Anis dalam konferensi pers di gedung KPK Jakarta, Rabu (6/8/2014).
Mereka yang bermasalah adalah para TKI yang menjadi korban kekerasan fisik maupun seksual, namun masih membawa barang berharga, atau pun gaji tapi kemudian diminta oleh petugas secara paksa.
"Terakhir pemerasan lewat terminal 2, sejak 2012 ketika Kemenakertrans membuat peraturan menteri (permen) baru mengenai kepulangan mandiri. Itu menjadi modus baru bagaimana TKI tetap bisa lewat terminal 2 tapi dengan membayar Rp800 ribu hingga Rp2 juta untuk setiap orang," tambah Anis.
Selain Bandara Soekarno-Hatta, pemerasan menurut Anis juga terjadi di bandara-bandara kantong asal para TKI seperti di Surabaya, Lombok maupun bandara lain, hanya saja pengelolanya bukan hanya BNP2TKI tapi oknum lain.
Pada sidak pertama ke Bandara Soekarno Hatta pada Sabtu (26/7/2014), setidaknya ada 18 orang yang ditahan, seorang di antaranya berasal dari TNI dan dua orang anggota kepolisian, selebihnya preman dan calo.
Tapi 15 orang calo tersebut dibebaskan karena minimnya bukti, sedangkan oknum polri dan TNI akan dikenai sanksi disiplin.
Sejak 2006, KPK telah membuat kajian tentang sistem penempatan TKI yang telah disampaikan pada Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta BNP2TKI.
Hasil kajian itu mengungkapkan bahwa pelayanan kepulangan TKI hanyalah salah satu tahapan dalam proses penempatan TKI.