Suara.com - Hakim Mahkamah Konsitusi (MK) Patrialis Akbar berkomentar terkait permohonan uji materi seorang lelaki kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk merevisi Pasal 344 KUHP tentang eutanasia atau langkah mengakhiri hidup seseorang dengan tenang.
Ignatius Ryan Tumiwa, lelaki tersebut, hendak melakukan suntik mati lantaran terhimpit masalah hidup dan stres. Namun, karena tidak ada hukum yang mengatur suntik mati di Indonesia, Ignatius pun mendatangi MK untuk meluluskan rencananya.
"Sebetulnya hakim tidak bisa memberikan komentar terhadap perkara yang sedang berjalan, sebab saya sebagai panel yang menangani, sebab saya waktu itu sebagai panel MK yang menangani," kata Patrialis di gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Selasa (5/8/2014).
Bekas kader Partai Amanat Nasional (PAN) itu juga mengaku telah menasihati Ignatius selaku pemohon perkara agar menarik kembali permohonannya untuk mengakhiri hidupnya dengan cara suntik mati.
"Bahwa (saya) menasihati pemohon, karena saya sendiri juga menangis membaca permohonan dan keluhan. Di negara ini sebagai keluhan dia sebagi warga negara," serunya.
"Tapi hati saya, sudah saya sampikan ke dia dan dia juga menangis terisak-isak di dalam persidangan, dan saya minta supaya dipikirkan perkara ini mau di lanjutkan apa nggak tapi kita tetap menasihati cara pengajuan permohonan yang benar," cerita Patrialis Akbar.
Sebagai informasi, Ignatius adalah lulusan Program Pascasarjana Universitas Indonesia Jurusan Administrasi tahun 1998. Diberhentikan dari tempatnya bekerja dan ditinggal mati ayahnya, Ignatius menjadi stres dan depresi. Ia mendatangi Komnas HAM untuk mempertanyakan tunjangan yang bisa diberikan negara untuk pengangguran seperti dirinya. Namun, ia dibilang salah alamat.
Kehabisan akal, diapun memutuskan mengakhiri hidupnya dengan suntik mati dan mendatangi Departemen Kesehatan. Lagi-lagi, niatnya mendapat halangan lantaran belum ada undang-undang yang mengatur soal suntik mati. Ignatius pun berangkat ke MK untuk mengajukan uji materi terkait hal tersebut.