Suara.com - Raja Arab Saudi Abdullah pada Jumat (1/8/2014), akhirnya membuka suara atas kemelut tiga pekan di Gaza, dengan mengutuk kebungkaman antarbangsa terhadap gempuran Israel ke Jalur Gaza.
Dia menggambarkannya sebagai kejahatan perang dan terorisme yang dilakukan Israel terhadap warga Palestina.
Arab Saudi, yang menganggap diri sebagai pemimpin Muslim Sunni dunia, hanya memainkan peran belakang layar dalam diplomasi untuk mengembalikan ketenangan di Gaza dan gencatan senjata kepada Mesir, sebagai sekutu dekatnya.
"Kami melihat darah saudara kita di Palestina tertumpah dalam pembantaian besar, yang tidak menargetkan warga secara sembarangan dan kejahatan perang terhadap kemanusiaan," kata Abdullah dalam pidato singkat, yang dibacakan atas namanya di televisi.
Pidatonya itu menyusul kecaman oleh beberapa warga Saudi di laman internet, termasuk ulama terkemuka, atas sikap diam Riyadh terhadap kemelut Gaza.
Kebijakan Kerajaan Saudi terhadap Gaza dipersulit oleh ketidakpercayaan terhadap Hamas, yang dianggap dekat dengan kelompok teror di Saudi.
Abdulkhaleq Abdullah, pengulas politik di Keamiran Arab Bersatu, menyatakan pidato itu upaya membantah tuduhan bahwa Saudi -bersama sekutu, Mesir dan UAE- senang melihat Hamas melemah oleh serangan Israel, yang sebagian dipicu peningkatan tembakan roket Hamas dari Gaza ke Israel.
"Orang ingin melihat kedudukan lebih kuat dari ketiga negara itu," katanya.
Sejak serangan udara dan darat Israel dimulai pada 8 Juli, ungkapan kecaman Saudi atas kekerasan Israel, sebagian besar terbatas pada pernyataan sesudah sidang mingguan kabinet dan janji memberi bantuan kemanusiaan. (Reuters)