Suara.com - Selasa, tanggal 22 Juli 2014, akan menjadi hari yang tidak akan dilupakan oleh bangsa Indonesia. Hari itu menjadi hari yang tercatat dalam sejarah perjalanan bangsa, hari yang menjadi saksi terpilihnya seorang presiden baru, presiden ke-7 Republik Indonesia.
Namun, hari itu juga menorehkan sejarah yang lain, di mana seorang kandidat calon presiden yang secara mengejutkan menarik diri dari proses pemilihan presiden saat KPU menggelar rekapitulasi penghitungan suara nasional untuk menentukan siapa yang akan menduduki kursi RI-1.
Sang kandidat, Prabowo Subianto, memutuskan mengambil jalan itu karena merasa tidak puas dengan kinerja KPU yang dinilainya tidak demokratis dan mengabaikan kecurangan yang menurutnya terjadi dalam pemilu. Dengan tegas, Prabowo "menolak pelaksanaan Pilpres 2014".
Prabowo juga meminta saksi dari tim Koalisi Merah Putih untuk walk out dari rapat pleno rekapitulasi hasil pemungutan pilpres di KPU. Semua itu disampaikan calon presiden nomor urut 1 itu dalam sebuah pidato di basis pemenangan dirinya, Rumah Polonia.
Namun, apa yang diserukan Prabowo tidak menggoyahkan KPU. KPU menolak disebut curang, karena sudah membuka semua hasil perolehan suara dari tingkat desa hingga provinsi untuk diawasi masyarakat. KPU akhirnya secara resmi menetapkan pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai capres dan cawapres terpilih periode 2014-2019.
Pidato politik itu lantas dinilai sejumlah kalangan, termasuk para pengamat politik sebagai sikap yang kurang legowo dalam menerima kekalahan. Sebagai seorang negarawan, Prabowo diharapkan untuk bersikap sebaliknya.
Pidato yang sebenarnya bukan pidato kekalahan itu, mengingatkan kita pada beberapa pidato calon presiden dunia di masa lalu yang kala itu, juga berada di posisi seperti Prabowo saat ini.
Lalu, seperti apa pidato mereka dan apa persamaan juga perbedaannya dengan pidato Prabowo? Berikut ini ada beberapa pidato kandidat presiden dan tokoh politik yang kalah dalam sebuah kontestasi politik.
Pidato kekalahan pertama yang menarik untuk disimak adalah pidato Al Gore, kandidat presiden Amerika Serikat yang kalah dalam pilpres AS tahun 2000. Kala itu, kandidat dari Partai Demokrat itu meraih suara terbanyak, namun, dirinya kalah pada tahap pemilihan di Lembaga Pemilihan Presiden dari saingannya, kandidat Partai Republik, George W. Bush.
Sempat menjadi sengketa, akhirnya Gore dinyatakan kalah oleh Mahkamah Agung AS. Saat itulah, Gore menunjukkan kalau dirinya adalah negarawan sejati. Lewat pidato kekalahannya, lelaki yang pernah menjadi wakil presiden di era pemerintahan Presiden Bill Clinton itu memberikan contoh, bagaimana pemimpin yang baik seharusnya bersikap.
"Selamat malam. Beberapa saat lalu, saya berbicara dengan George W. Bush dan memberi selamat atas terpilihnya dia menjadi presiden Amerika Serikat yang ke-43," ujar Al Gore.
Tak lupa, Al Gore menyampaikan rasa terima kasih mendalam kepada para pendukung setianya.
"Izinkanlah saya untuk mengucapkan betapa berterima kasihnya saya kepada semua yang telah mendukung saya dan mendukung apa yang kita perjuangkan," ungkap Gore.
Calon presiden itu pun menerima kekalahan dengan lapang dada. Alih-alih berkeluh kesah karena kalah, Gore justru membesarkan hati para pendukungnya.
"Saya paham bahwa banyak pendukung saya yang kecewa. Demikian pula dengan saya. Namun, kekecewaan kita akan terobati oleh kecintaan pada negara," kata Gore.
Tanpa ragu-ragu, Gore juga meminta rakyat untuk mendukung presiden yang terpilih.
"Secara pribadi, saya akan mendukungnya, dan saya menyerukan kepada semua rakyat Amerika, secara tegas saya mendesak semua untuk berdiri, bersatu di belakang presiden kita yang baru. Ini adalah Amerika. Sama seperti saat kita bersaing dengan ketat, maka kita harus merapatkan barisan dan bersatu saat persaingan telah usai," lanjut Gore.
Amerika tidak cuma punya Al Gore yang legowo menerima kekalahannya. Ada juga politisi Hillary Clinton dan John McCain yang juga punya cara masing-masing untuk menunjukkan sikapnya terhadap kekalahan. Seperti apa pidato kekalahan mereka? Simak bagian kedua berikut ini: Ini Beda Pidato Prabowo dengan Politisi Negeri Seberang (Bagian 2)