Suara.com - Usulan agar pengumuman hasil rekapitulasi nasional ditunda oleh Timses Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dinilai memberikan sinyalemen bahwa pasangan itu tidak siap menerima konsekuensi dari kontestasi pesta demokrasi ini, bahkan dinilai mendelegitimasi KPU.
Pengajar Politik dan Pemerintahan di FISIP Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Muradi mengatakan, langkah tersebut juga makin menegaskan bahwa ada usaha mendelegitimasi kinerja penyelenggara pemilu.
“KPU telah bekerja secara berjenjang dari tingkat TPS hingga nasional, hanya karena peluangnya makin kecil ketika proses penahapan ini makin mengerucut secara berjenjang hingga tingkat nasional," kata Muradi.
Oleh karena itu, kata Muradi, pengajuan penundaan pengumuman tersebut sangat sarat kepentingan untuk setidaknya pada tiga hal.
Pertama, memberikan ketidakpastian politik, mengingat proses yang tengah berlangsung seharusnya klimaks pada saat pengumuman hasil pilpres 22 juli 2014.
Kedua, lanjut dia, penundaan pengumuman tersebut juga membuka manuver politik baru yang akan makin memperkeruh suasana dan mendorong delegitimasi proses politik yang tengah berjalan.
"Dan ketiga, usulan penundaan juga mengindikasikan bahwa ada upaya mengulur-ulur waktu agar publik yang berintegrasi dalam bentuk relawan selama proses pilpres tersebut pada akhirnya mengalami fase kejenuhan, sehingga antusiasme tidak lagi terjaga dalam mengawal proses politik," ujarnya.
Usulan tersebut, lanjut dia, tidak memiliki dasar yang kuat dan cenderung menghancurkan tataran proses yang tengah berlangsung.
"Selain tidak mendasar pada kepentingan bangsa secara terintegral, usulan tersebut adalah bagian dari strategi hitam menghalau potensi kemenangan lawan, yang sejauh ini sudah unggul," katanya.
Sebelumnya, kubu Prabowo-Hatta mengklaim menemukan banyak indikasi kecurangan di beberapa daerah terkait proses Pilpres 2014. Oleh karena itu kubu Prabowo-Hatta meminta KPU menunda sidang pleno rekapitulasi suara yang sedianya digelar 22 Juli 2014. (Antara)