Suara.com - Deklarasi koalisi permanen yang dilakukan oleh Koalisi Merah Putih dinilai membingungkan masyarakat dan rancu. Koaisi ini merupakan kumpulan partai pendukung pasangan Prabowo Subianto - Hatta Rajasa.
"Dua hal yang menarik untuk dianalisis sekarang ini. Pertama, terkait koalisi permanen dan kedua, kemungkinan bergabungnya Partai Golkar dengan koalisi partai pendukung pasangan Capres Jokowi-JK," kata pengamat politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten, Leo Agustino, Selasa (15/7/2014).
Ia menyebutkan setidaknya ada tiga hal yang harus dipahami dari deklarasi ini. Pertama, ketakutan pasangan Prabowo-Hatta atas kemungkinan pecahnya Koalisi Merah Putih apabila pasangan Jokowi-JK menang dalam Pilpres 2014.
Langkah deklarasi koalisi permanen ini dilakukan karena muncul tendensi Golkar dan PPP akan memindahkan dukungannya kepada Jokowi-JK.
Kedua, koalisi permanen merupakan metode lanjutan untuk menjaga kebersamaan seperti yang dilakukan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. SBY pernah membuat koalisi permanen dalam bentuk Setgab Koalisi Partai Pendukung Pemerintahan SBY.
Pembentukan Setgab ini juga dilatari oleh ketakutan atau ketidakpercayaan atas partai komponen koalisi. Oleh karena itu, menurut Leo diperlukan kesepakatan dalam bentuk koalisi permanen.
Ketiga, koalisi permanen dinilai rancu karena tidak sesuai dengan sistem presidensial. "Koalisi biasanya dilakukan dalam sistem parlementer. Mengapa ini terjadi? Ini karena kita memadumadankan sistem presidensial dengan multipartai yang berakibat pada kemungkinan terjadinya minority government dan politik transaksional," jelas Leo.
Mengenai beberapa kemungkinan bergabungnya Partai Golkar dengan koalisi pasangan Capres Jokowi-JK, Leo menilai sangat mungkin terjadi apabila hasil hitungan KPU pada 22 Juli yang akan datang menunjukkan pasangan Jokowi-JK sebagai pemenang.
"Manakala yang terjadi adalah sebaliknya, maka Golkar akan terus bertahan dalam Koalisi Merah Putih," ujarnya.
Beralihnya dukungan Golkar pada pasangan Jokowi-JK bisa terjadi atas beberapa alasan. Pertama, jejak rekam Partai Golkar yang selalu berada di pemerintahan. Dalam arti kata lain, Golkar kurang berminat untuk menjadi partai oposisi, selain memang tidak pernah ada sejarah Golkar untuk beroposisi.