Suara.com - Kepala Badan Narkotika Nasional Provinsi Papua, Antonius Kadarmanta menegaskan bahwa wilayah Papua sangat rawan menjadi sasaran penyelundupan dan perdagangan gelap narkotika jenis ganja dari negara tetangga, Papua Nugini (PNG).
Antonius mengatakan wilayah Papua yang berbatasan dengan PNG sangat dirugikan dengan adanya praktik perdagangan gelap ganja sehingga membutuhkan penanganan bersama untuk dapat mengatasinya.
"Dalam pertemuan bersama antara delegasi BNN Indonesia dengan PNG tahun 2013 di Medan kami sudah memaparkan data peredaran gelap ganja dari PNG ke Papua. Tentu kita sangat dirugikan sehingga kita minta kerja sama untuk penanganan masalah ini," ujar Antonius di Timika, Selasa (15/7/2014).
Dari laporan yang diterima delegasi PNG, diketahui bahwa negara itu cukup kewalahan menangani praktik perdagangan gelap ganja.
Wilayah Papua menjadi sasaran empuk praktik perdagangan gelap ganja dari PNG lantaran ada banyak pintu lintas batas tidak resmi alias jalan tikus yang menjadi akses keluar masuk warga dari PNG ke Papua ataupun sebaliknya.
Di perbatasan Skow (Kota Jayapura)-Wutung PNG saja terdapat sekitar delapan titik lintas batas yang tidak resmi. Belum lagi pintu perlintasan yang tidak resmi melalui jalur laut yang sulit dicegah atau dideteksi oleh aparat berwenang.
"Di pintu gerbang yang resmi saja kita mendeteksi ada orang yang membawa ganja sehingga membutuhkan konsentrasi penuh petugas, apalagi di jalur-jalur yang tidak resmi yang sangat banyak dan luput dari pengawasan kita," tutur Antonius.
Dari sejumlah kasus penyelundupan ganja yang diungkap oleh jajaran Direktorat Narkoba Polda Papua maupun Satuan Narkoba Polresta Jayapura dan Polres Korom juga diketahui bahwa barang haram tersebut masuk ke wilayah Papua dari PNG.
Selain maraknya praktik penyelundupan ganja ke Papua dari PNG, BNN juga mendeteksi semakin rawannya penyalahgunaan narkoba jenis ekstasi dan shabu ke wilayah Papua.
"Sudah ada indikasi penyalahgunaan ekstasi dan sabu, bahkan morfin dan heroin masuk ke Papua. Dua bulan lalu kami mengirim satu orang pengguna shabu untuk menjalani rehabilitasi di Jakarta selama tiga tahun," kata Antonius. (Antara)