Suara.com - Buruh Migran Indonesia (BMI) di Hongkong membuat petisi menuntut digelarnya pemungutan suara ulang. Mereka merasa kecewa tak dapat menggunakan hak pilihnya di Pilpres 2014.
Juru Bicara Relawan Pemantau Pemilu di Hongkong, Fahmi, dalam siaran pers di Jakarta, Senin (14/7/2014), mengatakan, BMI yang ingin mencoblos membludak hinggal empat kali lipat lebih dibanding dengan Pemilu Legislatif, April lalu.
Untuk itu, Relawan Pemantau Pemilu di Hongkong membuat petisi change.org/MemilihdiHongkong yang kini mendapat dukungan hampir 10.000 orang.
"Kami membuat petisi ini untuk mendesak agar KPU mengadakan pemungutan suara tambahan bagi mereka yang belum menggunakan hak pilihnya di Hongkong," kata Fahmi.
Selain membuat petisi, lanjut dia, Tim Relawan Pemantau Pemilu di Hongkong telah resmi memasukkan pengaduan mengenai dugaan pelanggaran Pilpres 6 Juli 2014 kepada Panwaslu Hongkong pada 9 Juli 2014.
"Ada dua pengaduan yang disampaikan, yaitu dugaan adanya ancaman atau intimidasi terhadap calon pemilih, serta pelanggaran administrasi dalam penyelenggaran pemilu. Pelanggaran ini mengakibatkan sejumlah warga kehilangan kesempatan untuk menggunakan hak pilihnya," katanya.
Menurut Fahmi, Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) di Hongkong telah menerima dan menanggapi kedua pengaduan tersebut dan akan melakukan proses investigasi selama tujuh hari ke depan, sampai dengan tanggal 16 Juli 2014.
Fahmi menyebutkan pengaduan tersebut didasarkan pada temuan tim relawan, yakni pertama setelah pukul 17.15 pada saat pemungutan suara (6 Juli), masih ada antrean 50-an warga, sebagian lainnya berteduh di pinggir lapangan yang akhirnya tidak bisa memilih karena habisnya waktu penggunaan TPS di lapangan Victoria Park.
Kedua, protes terjadi karena para warga yang sudah antre itu sangat kecewa tidak dapat mencoblos.
"Pada saat kejadian, kami berhasil mendaftar 133 warga yang belum memilih dan mereka menutut diberi kesempatan untuk mencoblos," katanya.
Ketiga, protes semakin menjadi ricuh karena dipicu oleh pihak yang mengintimidasi dengan mensyaratkan mereka memilih capres tertentu jika ingin mencoblos.
Fahmi mengatakan dirinya sempat mendaftar para saksi yang menandatangani surat kesaksian saat terjadi kericuhan.
"Kami juga menuntut PPLN Hong Kong untuk menuntut Panitia Pengawas Pemilu dan Pemerintah untuk menginvestigasi kasus intimidasi tersebut," katanya.
Hal sama disampaikan Direktur Migrant Care Anis Hidayah mengingatkan kepada KPU bahwa memilih adalah hak konstitusional warga negara yang harus dijamin.
Menurut dia, ketika di lapangan, KPU agar jangan terpaku pada tahapan normatif pemilu, tetapi juga diperlukan inovasi dan KPU juga harus pasang badan untuk menegaskan konstitusi.
"Petisi di Change.org ini diharapkan menjadi jembatan bagi pemenuhan hak pilih buruh migran di Hongkong yang tidak terpenuhi karena ada masalah manajemen penyelenggaraan pemilu," kata Anis. (Antara)