Suara.com - Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama Koalisi Masyarakat Sipil untuk Undang-Undang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) berencana menggugat UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan ini ditujukan karena UU MD3 dinilai banyak kejanggalan.
"Kami mempertimbangkan untuk melakukan judicial review ke MK. Kami sedang mengkaji potensi untuk kerugian. Sangat dimungkinkan tapi kami belum bisa sebut iya atau tidak," kata anggota ICW Abdullah Dahlan dalam konfrensi pers, di kantornya, Minggu (13/7/2014).
Salah satu pasal yang dianggap janggal adalah pasal 244, yang mengatur soal imunitas atau kekebalan hukum anggota parlemen.
Pasal itu mengharuskan penegak hukum mendapat izin dari Mahkamah Kehormatan sebelum memeriksa anggota dewan dalam sebuah tindak pidana.
"Ini tentu akan memperpanjang proses administrasi dalam mengungkap suatu kasus," ungkapnya.
Selain itu, Mahkamah Kehormatan Dewan juga memiliki kewenangan untuk memutuskan apakah anggota dewan yang dipanggil itu terlibat atau tidak dalam waktu 30 hari.
"Waktu 30 hari ini tentu cukup untuk anggota dewan yang terindikasi tindak pidana korupsi misalnya menghilangkan barang bukti, atau merapikan segala bukti-bukti yang berhubungan dengan kasus itu," ujarnya.
Dengan alasan itu, Abdullah menambahkan, penegak hukum jadi tidak bisa melakukan pemeriksaan kepada anggota dewan.
"Padahal, seperti kita tahu anggota mahkamah kehormatan juga berasal dari partai yang juga anggota DPR. Tentu ini rawan terjadi resistensi atau konflik kepentingan," tambahnya.
Setidaknya ada tiga alasan lainnya yang menjadi keberatan koalisi selain imunitas anggota parlemen, yakni kemungkinan penganggaran ganda saat melakukan tugas menyerap aspirasi, penghapusan keterwakilan perempuan dan penghapusan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN).