Suara.com - Peneliti opini publik Agung Prihatna menilai bahwa lembaga survei yang ada saat ini sudah berorientasi pada kepentingan bisnis. Padahal, menurutnya, dulu orientasinya untuk sosial saja. Agung mengatakan, seharusnya quick count dibuat untuk menenangkan situasi politik saja, bukan untuk menentukan siapa yang menang.
"Kita buat quick count pada tahun 2004 bersama LP3ES untuk tujuan sosial yaitu untuk mendinginkan situasi politik, sekarang sudah bergeser ke komersial, jadinya orang sudah berprasangka buruk kepada kedua belah pihak. Orientasinya betul-betul untuk bisnis," katanya dalam diskusi yang bertajuk 'Republik Quick count' di Warung Daun Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu(12/7/2014).
Agung juga mempersoalkan adanya hasil survei yang mengatakan bahwa ada pihak yang menang tipis, sementara ada lainnya menang tebal. Menurutnya yang dilihat dalam hasil survei adalah margin errornya. Menurut dia, istilah menang tipis dan menang tebal sengaja diciptakan untuk menarik suara dan simpatisan.
"Dalam membaca hasil survei tidak boleh menang tipis dan menang tebal, tapi harus lihat margin errornya, tapi karena untuk menarik simpatisan dan suara dan lembaga survei ingin populer, maka istilah ini diciptakan. Karena semakin banyak tampil, maka semakin populer," jelas Agung.