Suara.com - Direktur Lingkar Studi Efokus Rizal E Halim mengatakan perbedaan hasil hitung cepat atau quick count yang dirilis oleh sejumlah lembaga survei setelah Pemilu Presiden yang berlangsung 9 Juli 2014 telah menciderai kaidah dan etika penyelenggaraan survei.
"Setidaknya tiga hal mendasar yang perlu dikritisi dari quick count Pilpres 2014," kata Rizal yang juga peneliti di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) di Depok, Jabar, Jumat (11/7/2014).
Pertama, motif yang dikedepankan tidak lagi bersifat memberi informasi yang sebenar-benarnya (objectivity and truth).
Kedua, pihak tersebut mengabaikan faktor etika yang selama ini dijaga mereka yang benar-benar peneliti.
Ketiga, komersialisasi survei, khususnya di bidang politik telah mencoreng aktivitas survei yang selama ini banyak dijadikan acuan untuk memperbaiki peradaban manusia.
"Kemurnian, obyektivitas dan kebenaran yang menjadi tujuan sebuah survei telah diperkosa secara massal oleh lembaga survei," katanya.
Ia mengatakan untuk mengatasi persoalan hitung cepat, sebaiknya KPU melarang lembaga survei yang tidak mampu menunjukkan kaidah dan keahlian dibidang survei untuk merilis hasil-hasil yang menyesatkan.
Selain itu, ada baiknya lembaga-lembaga survei komersil tidak dijadikan konsumsi publik lagi cukup untuk konsumsi klien saja.
"Jika ingin menggunakan quick count, tunjuk para peneliti yang memang ahli dari sejumlah univerisitas nasional dan diberi tugas oleh KPU. Jadi quick count disediakan oleh KPU sebelum rilis resmi real count," katanya.
Rizal juga menjelaskan hasil hitung cepat merupakan prediksi, jadi bisa benar bisa juga salah. Untuk itu, seharusnya tidak dijadikan dasar sebagai pemenang pilpres.
Pilpres 9 Juli 2014 diikuti dua pasangan capres-cawapres, yaitu Prabowo Subianto - Hatta Rajasa dan Joko Widodo - Jusuf Kalla. (Antara)