Suara.com - Politisi PDI Perjuangan Eva Kusuma Sundari sangat marah dengan pemberitaan stasiun TV One yang menurutnya mengesankan partai yang dipimpin Megawati Soekarnoputri ini diisi oleh kader Partai Komunis Indonesia.
"Isu PDI Perjuangan digoreng dan dijadikan stigma," kata Eva kepada suara.com, Rabu (2/7/2014) malam.
Isu tersebut, antara lain berawal dari kunjungan kerja beberapa kader PDI Perjuangan, di antaranya Pramono Anung, Eva Kusuma Sundari, dan Rieke Dyah Pitaloka, ke negeri Cina selama sepuluh hari. Seperti diketahui, partai berkuasa di Cina adalah Partai Komunis.
"Hanya karena 10 hari di Cina, lalu distigma belajar komunis," kata Eva.
Yang membuat Eva geram adalah yang pernah berkunjung ke negeri Cina bukan hanya kader PDI Perjuangan. Kader-kader dari partai lain pun, katanya, pernah ke sana.
"Bajingan, ini digoreng TV One. Yang lain (partai lain) tidak diapa-apain, itu lho yang gak fairnya (TV One)," kata Eva dengan nada keras.
Yang membuat Eva tambah marah adalah pemberitaan yang memunculkan kesan bahwa PDI Perjuangan kawan PKI, maka PDI Perjuangan adalah musuh TNI AD.
"Kurang ajar," katanya.
Eva mengatakan pemberitaan stasiun televisi tersebut merupakan fitnah luar biasa.
Sebelumnya Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan Tjahjo Kumolo meminta kepada semua kader partai banteng moncong putih siaga satu.
“Sikap saya sebagai sekjen partai anggota kader PDI Perjuangan segera kami ‘siaga satu’ disiapkan segera mengepung studio TV One,” kata Tjahjo Kumolo.
“Disiagakan atau dikonsolidasikan seluruh kader sambil menunggu perintah lanjut,” Tjahjo menambahkan,
Menurut Tjahjo pemberitaan yang mengesankan bahwa PDI Perjuangan kawan PKI, maka PDI Perjuangan adalah musuh TNI AD, merupakan fitnah yang kejam.
“Fitnah sudah pada situasi kritis seolah PDI Perjuangan mengusung kader PKI. PDI Perjuangan kawan PKI, maka PDI Perjuangan musuh AD di ‘berita TV One,’” katanya.
PDI Perjuangan merupakan pimpinan koalisi pengusung capres-cawapres, Joko Widodo - Jusuf Kalla. Pasangan ini bersaing dengan duet Prabowo Subianto - Hatta Rajasa.