Suara.com - Terdakwa kasus suap dan juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar menantang Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencabut hak sebagai warga negara ketimbang hanya mencabut hak suaranya.
"Dicabut aja sebagai hak warga Indonesia, kan selasai, dan itu saya harapkan," kata Akil saat jeda sidang pembacaan pembelaan atau pledoi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (23/6/2014).
Dia menyatakan tidak lagi berguna sebagai WNI karena tuntutan seumur hidup dan pencabutan hak suara dari Jaksa.
"Ya untuk apa lagi, saya juga berbuat sesuatu untuk bangsa ini, tapi kan tidak ada ha-hal yang meringankan saya," ujarnya
Akil beranggapan masih banyak maling yang merampas uang negara, namun tidak dituntut seumur hidup.
"Banyak tuh maling-maling uang negara triliunan Rupiah ngga dituntut seumur hidup," seru Akil.
Dia enggan menjelaskan siapa yang disbeutnya maling uangg negara dan berbalik meminta bertanya ke KPK.
"Banyak, tanya sama KPK," papar Akil sambil berlenggang menuju ruang terdakwa lantai dua Tipikor.
Akil Mochtar dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Di hadapan pengadilan Akil dinilai terbukti menerima lebih dari Rp60 miliar. Uang itu terkait pengurusan perkara sengketa pilkada 10 daerah di MK.
Selain itu,d ia juga dinyatakan terbukti melakukan pencucian uang selama 22 Oktober 2010 sampai 2 Oktober 2013 dengan total uang sebesar Rp 161.080.685.150.
Akil juga dinilai terbukti menyembunyikan asal usul harta kekayaannya dengan menempatkan Rp6,1 miliar di BNI, Rp7,048 miliar di Bank Mandiri, dan Rp7,299 miliar di BCA. Dana tersebut terkumpul dalam kurun 17 April 2002 hingga 21 Oktober 2010.
Jaksa menilai, Akil secara sah dan meyakinkan secara hukum menerima suap senilai Rp 57 miliar terkait pengurusan sebanyak 15 sengketa Pilkada di MK.