Suara.com - Hari ini, 19 Juni, 69 tahun yang lalu, Aung San Suu Kyi dilahirkan di Rangoon (kini Yangon), Myanmar. Aung San Suu Kyi adalah salah satu ikon pejuang demokrasi dan hak asasi manusia yang diakui dunia internasional.
Aung San Suu Kyi mengenyam pendidikan di India, Jepang, hingga Inggris. Sekembalinya dari menimba ilmu, Suu Kyi memulai perjuangan politiknya di dalam negeri. Ia mendirikan Liga Nasional untuk Demokrasi pasca tumbangnya pemerintahan junta militer di bawah pemerintahan Jenderal Ne Win. Namun, tidak berjalan mulus. Oleh pemerintahan junta militer yang baru, dirinya dijadikan tahanan rumah dan baru akan dibebaskan jika dirinya bersedia keluar dari Myanmar. Namun Su Kyi menolak.
Atas kegigihannya memperjuangkan demokrasi dan hak asasi manusia tanpa menggunakan kekerasan, Suu Kyi meraih hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 1991. Karena status tahanan rumah yang membuatnya tidak bisa kemana-mana, penerimaan hadiah bergengsi itu diwakilkan anaknya yang tinggal di luar negeri. Hebatnya, Suu Kyi menggunakan uang hadiah Nobel sebesar 1,3 juta Dolar untuk mendirikan yayasan kesehatan dan pendidikan bagi rakyat Burma.
Setelah menjadi tahanan rumah selama 15 tahun, Suu Kyi akhirnya dibebaskan pada tahun 2010 seiring dengan reformasi yang terjadi di negeri tersebut. Pada tahun 2012, Suu Kyi mengikuti pemilihan umum dan terpilih menjadi anggota parlemen kubu oposisi. Namanya kian bersinar dan pendukungnya pun semakin bertambah.
Namun, keberpihakan Suu Kyi terhadap perjuangan hak asasi manusia mulai dipertanyakan saat pecahnya konflik antar-etnis dan agama yang terjadi di negara bagian Rakhine. Ratusan orang, sebagian besar warga muslim Rohingya -pendatang dari Bangladesh- tewas dalam konflik tersebut.
Banyak pihak dibuat kecewa dengan sikap Suu Kyi yang seakan tak peduli pada krisis kemanusiaan tersebut. Suu Kyi memilih netral dan tidak berpihak pada kubu manapun, apalagi mengecam salah satu pihak yang diduga melakukan pelanggaran hak asasi manusia.
Tak sedikit yang menilai sikap Suu Kyi sebagai upaya cari aman. Pasalnya, Suu Kyi berniat maju dalam pemilihan presiden tahun 2015 mendatang. Bisa jadi, ia kehilangan banyak dukungan jika memihak kaum minoritas Rohingya, yang bahkan tidak punya status kewarganegaraan di Myanmar.
Kendati begitu, Suu Kyi tidak sepenuhnya tinggal diam. Dia pun mengkritisi peraturan yang melarang etnis Rohingya memiliki lebih dari dua anak. Baginya, hal itu merupakan suatu diskriminasi.