Suara.com - Hasil survei yang menunjukkan sebanyak 58,8 warga muslim di perkotaan menyatakan sebagai bagian dari warga nahdliyin (NU), membuktikan bahwa model Islam ala Wahabi tidak diminati oleh masyarakat masyarakat muslim kota.
“Survei itu mematahkan asumsi bahwa setiap terjadi modernisasi di perkotaan menjadi lahan subur Islam puritan dan Islam radikal yang dipengaruhi oleh paham Wahabi dari luar. Artinya Wahabi tidak terlalu laku,” kata Wakil Sekjen PBNU Adnan Anwar, seperti dilansir dari laman resmi Nadhlatul Ulama, Senin (9/6/2014).
Menurut Adnan, survei itu semakin mengukuhkan bahwa Islam ala NU menjadi model yang mainstream di Indonesia, baik di kalangan pedesaan maupun pekotaan. Kata dia, Islam yang memiliki tradisi lebih disukai masyarakat dan terbukti perkembangannya makin besar.
“Fenomena munculnya kelompok ekstrem atau dalam istilah sosiologi disebut kelompok true deliver yang seringkali muncul sebetulnya lebih karena merespon dari modernisasi. Namun biasanya itu tidak bertahan lama dan lebih bersifat sesaat. Jadi kelompok ektrimis tidak akan lama dan tidak akan membesar, bersifat sesaat, karena tidak cocok dengan situasi masyarakat,” tambahnya.
Kamis (5/6/2014) lalu, NU Online melansir hasil survei yang dilakukan oleh Alvara Research Center yang dilakukan pada tanggal 18 hingga 28 Mei 2014 di 10 kota terhadap 1.400 responden muslim berusia 20-54 tahun.
Adapun 10 kota yang dituju adalah Jakarta, Bandung,Surabaya, Semarang, Medan, Palembang, Pekanbaru, Balikpapan, Banjarmasin dan Makassar. Metode sampling yang digunakan adalah stratified random dengan margin error sebesar 2,4%.
Secara lebih rinci, tim survei menanyakan kepada para responden muslim kota mengenai beberapa ritual, apakah mereka mempraktikkan ritual tahlil, maulid, qunut subuh, ziarah kubur? Hasilnya, mayoritas muslim kota mempraktikkan ritual-ritual khas nahdliyin semacam itu.