Korupsi Videotron, Rahmat Mengaku KTPnya Dipinjam Anak Menteri UKM

Laban Laisila Suara.Com
Kamis, 05 Juni 2014 | 18:59 WIB
Korupsi Videotron, Rahmat Mengaku KTPnya Dipinjam Anak Menteri UKM
Ilustrasi [Shutterstock]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Komisaris PT Imaji Media, Ahmad Kamaludin, mengakui kalau identitas KTPnya dipinjam oleh anak Menteri Koperasi dan UKM Sjarief Hasan, Rievan Afrian, untuk mendirikan PT yang belakangan memenangkan proyek pengadaan videotron di kementerian pada 2012.

Ahmad saat dimintai keterangan sebagai saksi untuk terdakwa Dirut Imaji, Hendra Saputra, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Kamis (5/6/2014), mengungkapkan kalau dirinya dan Hendra sama sekali tidak mengetahui tujuan peminjaman KTP itu.

Ahmad baru mengetahui belakangan kalau dirinya dijadikan Komisaris PT Imaji untuk ikut sebagai
peserta tender pengadaan Videotron.

"Dipersiapakan untuk pekerjaan videotron, Pak Riefan yang kasih tahu," kata Ahmad.

Saat memberikan keterangan, Ahmad tampak kaku dan sangat berhati-hati, bahkan terkadang tidak mengerti dengan pertanyaan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum.

Ahmad dan Rahmat yang cuma berpendidikan hingga kelas III Sekolah Dasar itu diduga hanya menjadi boneka Rievan untuk memenangkan tender di kementerian yang dipimpin ayahnya itu.

Rievan sendiri sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek pengadaan videotron oleh Kejaksaan Tinggi Jakarta.

Riefan dijerat Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2001.

Kasus itu terjadi pada tahun 2012 di Sekretariat Kemenkop dan UKM saat pengadaan dua unit videotron yang dimenangkan oleh perusahaan tersangka dengan harga Rp23,4 miliar.

Namun, dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan, yakni pemenang lelang sudah dikondisikan, harga terlalu tinggi nilainya, dan pekerjaan tidak dilakukan sesuai dengan kontrak.

Selain itu, kata dia, jenis barang tidak sesuai dengan kontrak dan bahkan ada sebagian pekerjaan dilakukan secara fiktif. Akibatnya, keuangan negara dirugikan sebesar Rp17,114 miliar.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI