Suara.com - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas menduga Menteri Agama Suryadharma Ali pernah membawa rombongan yang bukan bagian dari Panitia Pelaksanaan Ibadah Haji (PPIH). Padahal sesungguhnya, kuota itu haknya calon jamaah haji yang jumlahnya kurang dari 100.
"Di sektor ini ada indikasi bahwa ada kuota calon jamaah haji yang diduga digunakan oleh sejumlah nama yang sejumlah nama itu ikut dalam rombongan Pak Menteri Agama," kata Busyro di KPK, Jakarta, Jumat (23/5/2014).
"Tapi masalahnya apakah kuota ini haknya calon jamaah haji sehingga kemudian dioper ke orang-orang atau nama-nama sesungguhnya tidak bisa masuk dalam kualifikasi sebagai petugas haji. Masalahnya di situ," Busyro menambahkan.
Busyro menyebut ada unsur asing di balik kasus tersebut. "Karena jamaah haji melakukan hajinya di Tanah Suci maka tentu ada unsur asing. Hajinya kan di tanah asing," katanya.
Ketika ditanya berapa kerugian negara akibat perbuatan 'penyerobotan' kuota itu, Busyro belum dapat menyebutkannya karena saat masih dihitung secara detail.
"Jumlah kerugian negara masih dalam proses perhitungan secara detail," kata dia.
Suryadharma ditetapkan menjadi tersangka dugaan kasus korupsi dana penyelenggaraan haji periode 2012-2013 pada Kamis (22/5/2014) malam. Dana yang diduga dikorupsi, menurut Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, ada yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), selain dari uang jamaah sendiri. Dana penyelenggaraan haji periode 2012-2013 di atas Rp1 triliun.
“Ada yang dari APBN yang berkaitan dengan PPIH,” kata Bambang.
KPK menyangkakan Suryadharma berdasarkan pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 65 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.