Suara.com - Kiprah Joko Widodo di kancah politik dimulai pada 2005. Ketika itu, sang pengusaha mebel diusung menjadi calon Wali Kota Solo. Nama Jokowi – panggilan Joko Widodo – sebenarnya tidak terlalu dikenal oleh warga Solo. Tetapi, itu bukan menjadi faktor penghambat. Jokowi berhasil memenangkan pemilukada dan menjadi Wali Kota Solo.
Di bawah kepemimpinannya, Solo berkembang pesat. Dia juga melahirkan slogan “Solo: The Spirit of Java”. Salah satu keberhasilan Jokowi sebagai Wali Kota adalah merelokasi pedagang barang bekas di Taman Banjarsari tanpa adanya gejolak. Dia juga tidak sungkan untuk berkomunikasi langsung dengan warga Solo secara rutin dan terbuka.
Salah satu bentuk ketegasan Jokowi adalah menolak investor yang tidak sesuai dengan kepentingan publik. Dialah yang mengajukan Solo untuk menjadi anggota Organisasi Kota-kota Warisan Dunia. Meski berhasil memimpin Solo, nama Jokowi praktis belum terdengar di kancah politik nasional. Dia baru mulai terdengar ketika dipilih oleh salah satu majalah nasional menjadi “10 Tokoh 2008”.
Sikap Jokowi yang rendah hati berhasil mencuri perhatian warga Solo. Ketika kembali maju dalam pemilukada 2010, Jokowi berhasil meraih suara 90 persen dari total pemilih. Ada satu hal menarik yang dilakukan Jokowi ketika menjabat Wali Kota Solo yaitu dia sama sekali tidak pernah mengambil gaji yang diterimanya setiap bulan.
Ketika DKI Jakarta menggelar pemilukada pada 2012, PDI Perjuangan mengusung Jokowi bersama Basuki Tjahaja Purnama. Pasangan ini hanya didukung oleh PDI Perjuangan dan Partai Gerindra. Sedangkan lawan mereka yaitu Fauzi Bowo-Nachrowi didukung oleh mayoritas parpol di DPRD DKI Jakarta.
Tidak ada yang menyangka, Jokowi yang belum terlalu dikenal namanya itu berhasil mencuri hati warga Jakarta. Dengan menggunakan baju kotak-kotak, Jokowi-Ahok berkampanye keliling Jakarta. Mereka juga menggunakan media sosial untuk menarik dukungan dari kaum muda. Strategi tersebut ternyata membuahkan hasil positif. Pasangan Jokowi-Ahok berhasil mengalahkan Fauzi Bowo-Nachrowi dengan perolehan suara 53 persen berbanding 46 persen.
Pemilukada DKI Jakarta pada 2012 juga memunculkan sebuah fenomena unik. Jokowi-Ahok tidak menggunakan spanduk atau baliho dalam berkampanye. Mereka juga tidak terlalu banyak menggunakan iklan di televisi. Tim kampanye mereka memaksimalkan media sosial dalam berkampanye. Selain itu, Jokowi-Ahok juga melibatkan pendukungnya dalam menggalang dana, salah satunya dengan menjual baju kotak-kotak yang menjadi ciri khas mereka berdua.
Usai dilantik, Jokowi-Ahok langsung membuat gebrakan. Jokowi melakukan blusukan ke kampong-kampung sedangkan Ahok”menjaga” Balai Kota. Dia berbicara langsung dengan warga yang dikenal dengan istilah “blusukan”.
Salah satu kebijakan yang dibuat Jokowi adalah Kartu Jakarta Pintar. Dia juga mengulangi suksesnya di Solo dengan merelokasi pedagang di pasar Tanah Abang.
Dengan penampilan yang rendah hati dan tidak terlalu peduli dengan protokoler, Jokowi seperti anti-tesis dari sosok pemimpin Jakarta selama ini. Itu yang membuat dia menjadi “media darling”, kemana pun Jokowi pergi pasti akan akan puluhan wartawan yang mengikutinya. Fenomena ini pun sempat menjadi ulasan sejumlah media asing.
Popularitas yang semakin meroket membuat nama Jokowi masuk dalam pusaran calon Presiden. Isu ini sudah merebak sejak awal 2014. Namun, Jokowi tidak pernah mau memberikan komentar yang pasti tentang isu tersebut. Hanya dengan senyuman, Jokowi membantah semua pertanyaan yang dilontarkan seputar isu capres.
Baru pada 14 Maret 2014, Jokowi akhirnya resmi menjadi capres dari PDI Perjuangan. Deklarasi dilakukan saat Jokowi melakukan blusukan ke Marunda, Cilincing, Jakarta Utara. Apakah Jokowi mampu mengulangi suksesnya di pemilukada Solo dan DKI Jakarta pada pemilu Presiden? Jawabannya pada 9 Juli nanti.