Suara.com - Upaya melanjutkan persiapan proses legislasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Disabilitas terus ditempuh. Setelah menyelenggarakan serangkaian pertemuan konsultasi, baik di tingkat daerah maupun tingkat nasional, saat ini kelompok kerja (Pokja) RUU Disabilitas memasuki tahap menyempurnakan naskah RUU disabilitas yang akan disampaikan ke Badan Legislasi Nasional (Balegnas) dan Sekjen DPR. Diharapkan naskah yang telah sempurna akan disampaikan pada 14 Mei 2014.
"Di samping itu, desakan kepada DPR untuk membentuk panitia khusus (Pansus) untuk pembahasan RUU ini juga akan disampaikan," kata Kepala Divisi Humas Yayasan Mitra Netra Indonesia Aria Indrawati dalam pernyataan pers yang diterima suara.com, Sabtu (10/5/2014).
Aria menambahkan seluruh peserta pertemuan konsultasi nasional yang berasal dari 19 provinsi dan mewakili 25 organisasi disabilitas, baik tingkat nasional maupun provinsi, pada 8 Mei lalu telah menandatangani surat pernyataan. Surat pernyataan tersebut akan disampaikan kepada Ketua DPR, dan ditembuskan ke Ketua DPD, Ketua MPR, Presiden dan Wakil Presiden, serta seluruh Menko dan kementerian kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2.
Isi surat pernyataan tersebut, katanya, pada intinya meminta DPR untuk membentuk pansus guna membahas RUU Disabilitas.
Mengapa pansus?
Aria menjelaskan RUU Disabilitas merupakan sebuah “kodifikasi hukum” yang mengatur penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas di semua aspek kehidupan. Jika sebuah RUU hanya mengatur satu aspek kehidupan saja, misalnya aspek kesehatan, aspek hukum, aspek politik, dan sebagainya, maka pembahasan RUU akan dilakukan di komisi yang membidangi hal tersebut.
"Untuk isu kesehatan, dibahas di Komisi 9. Sedang untuk masalah hukum, - seperti rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dibahas di komisi 3," kata Aria.
Selama ini, isu disabilitas hanya dibahas di Komisi 8 yang membidangi masalah sosial. Hal ini dapat dipahami, karena pemerintah Indonesia menganggap kementerian yang bertanggungjawab mengurus persoalan warga negara penyandang disabilitas adalah Kementerian Sosial – mitra kerja Komisi 8.
Menurut Aria, hal ini terbukti dengan sangat nyata. Saat persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) beraudiensi dengan Presiden, baik saat Presiden Megawati Soekarnoputri maupun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menteri yang diminta mendampingi hanya Menteri Sosial sehingga, saat delegasi Pertuni menyampaikan persoalan di bidang-bidang lain di luar bidang Menteri Sosial, sang menteri tak bisa memberikan masukan kepada presiden.
Pembentukan pansus oleh DPR untuk membahas RUU Disabilitas akan menjadi perubahan besar di Indonesia. Saatnya, persoalan disabilitas ditempatkan sebagai isu lintas bidang. Dan saatnya persoalan disabilitas dilihat dari kacamata hak asasi manusia, bukan persoalan sosial semata.