Politik Jelang Pilpres, Bedanya Perang Puisi dengan Perang Caci Maki

Siswanto Suara.Com
Rabu, 23 April 2014 | 09:46 WIB
Politik Jelang Pilpres, Bedanya Perang Puisi dengan Perang Caci Maki
Wakil Ketua Umum Gerindra Fadli Zon. [Antara/Rosa Panggabean]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Suasana politik di Pemilu 2014 terbilang berbeda dibandingkan sebelum-sebelumnya. Di hajatan demokrasi tahun ini diwarnai dengan serang-menyerang lawan politik yang dibungkus dengan bahasa puitis.

Ada yang menyukai, ada pula yang tak menyukai. Yang menyukai mengatakan ini budaya baru yang baik dalam berpolitik di Indonesia, sedangkan yang tak suka mengatakan cara seperti itu super lebay.

Menurut dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Achmad Mubarok, sesungguhnya ada pelajaran penting yang dapat dipetik dari perang puisi menjelang Pemilu Presiden 2014.

Menurut dia, serang-menyerang melalui puisi justru sangat bagus. Pasalnya, menurut dia, seni lebih tinggi kedudukannya daripada politik praktis.

“Orang yang serang-menyerang dengan puisi, itu menunjukkan sudah berbudaya tinggi,” kata anggota Dewan Pembina Partai Demokrat ini kepada suara.com, Rabu (23/4/2014).

“Tapi kalau orang serang-menyerang melalui caci maki, itu menggambarkan budayanya masih rendah,” Mubarok menambahkan.

Mubarok memuji Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon yang menggunakan puisi untuk menyampaikan kritik.

“Seperti Fadli Zon itu bagus,” katanya.

Menurut Mubarok, respon terhadap aksi Fadli Zon ada yang sportif, tapi ada juga yang tidak. Yang tidak sportif, katanya, berarti belum berbudaya tinggi.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI