Suara.com - Tubuhnya bergetar, Sofyan berteriak kencang saat pemijat tradisional berusaha menenangkan saah satu calon legislatif itu. Dia hanya salah satu dari ribuan caleg yang mengalami gangguan jiwa setelah usainya pemilu legislatif.
“Jangan ambil suara saya, saya sudah menghabiskan banyak uang,” teriak Sofyan.
Sebagian besar dari 230 ribu caleg di seluruh Indonesia mengeluarkan uang dalam jumlah besar untuk berkompetisi memperebutkan kursi di DPRD atau DPR Pusat. Kini, mereka harus menanggung akibat yang besar. Beberapa caleg stres dan mengalami depresi karena terancam kehilangan semuanya. Bahkan, ada yang caleg sempat mencuri sandal tetangganya dan bersembunyi di pohon kelapa.
Kantor berita Agence France Press (AFP) menulis, ribuan caleg mengalami gangguan jiwa dan mental usai pemilu legislatif 2009 lalu. Kini, peristiwa itu kemungkinan akan kembali terulang lagi.
“Mereka telah kehilangan uang, tanah, rumah dan salah satu kandidat ada yang kehilangan istri yang diambil lelaki lain karena terlalu sibuk kampanye,” kata Muhammad Muzakkin dari pusat penyembuhan tradisional di Jawa yang telah merawat 51 caleg yang stres pada minggu lalu.
Banyak orang yang rela mengambil risiko apa pun untuk mendapat kursi legislatif. Bagi seorang pengusaha, menjadi anggota dewan akan memudahkan perusahaan miliknya untuk memenangkan proyek. Selain itu ada peluang untuk menjadi kaya dengan menerima uang suap.
Minimnya dana kampanye dari partai politik membuat caleg harus menyediakan uang sendiri. Sofyan telah menjual dua motor dan meminjam uang Rp300 juta dari bank untuk membiayai kampanyenya agar bisa duduk di DPRD Cirebon, Jawa Barat.
Uang itu dibelanjakan untuk membuat poster dan juga membeli suara waga, sesuatu yang sudah sangat umum terjadi meski masuk kategori ilegal. Hasil pemilu legislatif versi KPU Pusat baru akan dimumkan bulan depan, namun Sofyan yakin bisa meraih satu kursi DPRD mewakili Partai Demokrat yang dipimpin Presiden SBY.
Akan tetapi, Sofyan tetap cemas akan terjadi sesuatu hal sehingga uang yang sudah dikeluarkan dalam jumlah banyak itu akan sia-sia.
“Saya tidak tahu harus berbuat apa kalau kalah,” ujarnya.
Sejumlah kandidat kehilangan temperamennya saat tahu kalah dan gagal mendapatkan kursi legislatif. Ada yang mendatangi lembaga jajak pendapat sambil marah-marah dan ada juga yang meminta kembali uang yang sempat disumbangkan ke salah satu masjid.
Para caleg yang terancam gagal itu memilih untuk datang ke pengobatan tradisional, untuk menghilangkan stres. Padahal, sejumlah rumah sakit sudah menyiapkan kamar khusus untuk caleg yang stres.
“Pengobatan di sini dilakukan dengan menggunakan doa. Jadi, mereka diminta untuk telanjang dan ditempatkan di ruang yang terisolasi,” kata Muzakkin.
Eka Viora, Direktur Kesehatan Mental di Kementerian Kesehatan mengatakan, pemilu legislatif merupakan bencana bagi kandidat, khususnya mereka yang kalah.
“Mereka tidak hanya kehilangan aset dan pekerjaan tetapi juga harga diri,” ujarnya kepada AFP.
Sementara itu, pengamat politik Dodi Ambardi mengatakan, sebelum maju sebagai caleg, kandidat seharusnya tahu apakah dia sudah siap atau belum untuk menghadapi konsekuensi yang akan terjadi.
“Itu merupakan sebuah perjudian yang berisiko. Apabila mereka tidak siap maka sebaiknya jangan terlalu percaya diri dan ikut dalam pemilu legislatif,” kata Dodi. (AFP)