Suara.com - Beberapa hari terakhir, media massa ramai memberitakan kasus sodomi terhadap murid lelaki berusia enam tahun di Jakarta International School, Pondok Indah, Jakarta Selatan. Berkat informasi yang disajikan media, publik mengetahui kasus ini sehingga mengundang kemarahan publik atas peristiwa tersebut.
Pemberitaan kasus ini ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi memberikan informasi sehingga pelaku kejahatan ditangkap dan diproses hukum, juga pengawasan di sekolah diperketat. Pada sisi lain, eksploitasi atas kasus ini berpotensi memberikan tekanan baru bagi korban (anak) yang diberitakan media.
Demikian diungkapkan Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Eko Maryadi, dalam pernyataan pers yang diterima suara.com, Rabu (16/4/2014).
Berdasarkan pantauan AJI, pemberitaan terkait kasus kejahatan seksual yang menimpa murid TK JIS masih ada yang tidak memberikan perlindungan terhadap korban, bahkan melanggar Kode Etik Jurnalistik (KEJ), Pedoman Perilaku Penyiaran (P3), dan Standar Program Siaran (SPS).
1. Masih ada media (terutama televisi) yang meliput dan wawancara keluarga korban tanpa mengaburkan identitas korban.
AJI menilai pemberitaan seperti itu berpotensi melanggar KEJ Pasal 5: Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susil. Penafsirannya, "Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak.”
2. Media wajib melindungi privasi korban dan keluarganya.
AJI mengingatkan wartawan dan media harus bisa membedakan antara wilayah publik dan privat. Pers yang profesional tidak mengaduk-aduk urusan privat, apalagi mengeksploitasi musibah yang menimpa korban kejahatan seksual.
Identitas dan kehidupan pribadi yang melekat pada korban wajib dilindungi, setara dengan kewajiban melindungi nara sumber media.
3. Media juga dilarang menggunakan bahasa yang provokatif, sadis, dan cabul.